Dapatdisimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. bersifat sekularisme yaitu Negara tidak mampu mencampuri urusan beragama dan agama tidak diatur oleh Negara
Soal UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4333 Administrasi Keuangan yang sudah dilengkapi dengan kunci jawaban dan pembahasannya, kami share untuk teman-teman UT, khususnya untuk teman-teman jurusan Ilmu Administrasi Negara yang saat ini sedang menempuh pendidikan pada semester 4. Pada postingan-postingan kami sebelumnya, kami telh berbagi lengkap kumpulan Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara Semester 3, terkahir kami membagikan Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4331 Administrasi Perkantoran yang bisa teman-teman lihat juga jika mata kuliah tersebut sedang Anda tempuh. Menjadi salah satu Mahasiswa Universitas Terbuka memang dituntut untuk belajar mandiri. Untuk mendapatkan nilai yang bagus tidak cukup hanya mengandalkan nilai yang diberikan oleh Dosen atau Tutor Anda, meski yang diberikan nilainya bagus-bagus itu tidak akan menjamin Anda bisa mendapatkan nilai akhir yang bagus pula dan tuntas dalam mata kuliah tersebut. Karena kita tahu bahwa nilai akhir itu tak hanya di tentukan hanya pada satu nilai saja, namun diambil dari beberapa nilai yang kemudian di bagi barulah dapat nilai akhir, seperti nilai tugas, partisipasi, kehadiran, dan nilai ujian akhir semester. Untuk itu jangan meremehkan UAS yang tak lama lagi akan Anda hadapi. Belajarlah yang giat, nah salah satunya dengan cara mempelajari Soal Universitas Terbuka yang kami bagikan pada situs kami ini. Mempelajari Soal UT yang sudah dilengkapi dengan kunci jawaban seperti ini akan jauh lebih efektif ketimbang Anda harus mempelajari keseluruhan materi pada modul Anda, dan membacanya. Hal tersebut hanya akan membuat Anda menghabiskan banyak waktu Anda. Perhatian Kami mengacu pada kurikulum Universitas Terbuka terbaru, jadi jika mata kuliah yang Anda cari tidak ada pada semester ini, artinya berada pada semester lain. Silahkan Anda buka artikel kami Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara untuk melihat semua mata kuliahnya, atau gunakan menu search pada situs ini. Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara Semester 4 Lainnya Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4333 Administrasi Keuangan Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4340 Administrasi Pemerintahan Desa Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara EKMA4214 Manajemen Sumber Daya Manusia Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4330 Perkoperasian Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ISIP4112 Pengantar Ilmu Ekonomi Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ISIP4310 Sistem Ekonomi Indonesia Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4332 Hukum Administrasi Negara Dan tak jarang Soal UT Ilmu Administrasi Negara yang kami bagikan ini akan keluar pada saat UAS nantinya. Ini dikarenakan memang soal-soal ini adalah soal-soal pilihan yang telah di prediksi akan keluar pada saat UAS nantinya. Dan tak jarang dari teman-teman UT yang lalu, mereka berhasil mendapatkan nilai terbaiknya. Soal UT Ilmu Administrasi Negara Administrasi Keuangan Soal UT Adne ini tidak bisa Anda copy paste, namun untuk mempermudahkan Anda, kami telah menyiapkan soal-soal ini dalam bentuk dokumen PDF, yang mana nantinya soal-soal ini bisa Anda unduh langsung melalui link di bagian akhir artikel ini. Soal UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4333 dilengkapi Kunci Jawaban 1. Administrasi sebagai fungsi dapat diartikan sebagai... A. keseluruhan proses yang terdiri dari kegiatan mulai dari penentuan tujuan, penyelenggaraan hingga tercapainya tujuan B. keseluruhan orang dalam satu kesatuan menjalankan kegiatan ke arah tercapainya tujuan C. keseluruhan proses dari aktivitas pencapaian tujuan secara efisien dengan dan melalui orang lain D. kegiatan dan tindakan yang secara sadar dilakukan untuk mencapai tujuan Jawab D. benar, merupakan pengertian administrasi sebagai fungsi 2. Administrasi sebagai ilmu memiliki sifat objektif, karena ... A. memperlihatkan spesifikasi atau spesialisasi berbagai bidang atau objek telaahan B. kegiatan dan tindakan administrasi berurutan dan tersusun dalam satu kesatuan fungsi C. analisis dan telaahannya bebas dari prasangka dan keinginan pribadi penganalisis D. penerapan administrasi didasarkan pengamatan dan percobaan Jawab C. benar, merupakan sifat objektif dari ilmu administrasi 3. Terbentuknya organisasi pelaksana kekuasaan seperti pengadilan dan kepolisian, menunjukkan bahwa administrasi negara mempunyai ciri ... A. memerlukan adanya kepatuhan B. mempunyai prioritas C. merupakan kegiatan yang tidak bisa dihindari D. merupakan kegiatanyang bersifat politis Jawab A. benar, ciri ini menunjukkan bahwa administrasi negara mempunyai monopoli untuk menggunakan wewenang dan kekuasaan yang ada padanya untuk memaksa setiap warga negara mematuhi peraturan 4. Interaksi antara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat... A. intern B. ekstern C. fungsional D. deterministik Jawab B. benar, interaksi ini merupakan interaksi antara satu sistem dengan sistem lain 5. Salah satu fungsi pemerintah dalam konteks administrasi keuangan negara adalah sebagai akumulator, maksudnya adalah ... A. mengalokasikan sumber dana untuk mengadakan barang/jasa umum B. menyeimbangkan, menyesuaikan pembagian pendapatan danmensejahterakan masyarakat C. meningkatkan kesempatan kerja serta pertumbuhan ekonomi yang mantap D. menghimpundan menyalurkan dana dan daya untuk sebesar mungkin dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat Jawab D. benar, merupakan fungsi akumulator 6. Dalam konteks model sistem, administrasi keuangan negara merupakan suatu proses yang bersifat dialektis, maksudnya adalah ... A. antara faktor subjek dan objek serta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi B. melengkapi proses C. alat pengarah dan penilai sampai sejauhmana suatu sistem bergerak ke arah tercapainya tujuan D. interaksi antar komponen atau subsistem dalam sistem administrasi keuangan Jawab A. benar, merupakan maksud sifat dialektis 7. Prinsip APBN yang berkaitan erat dengan bantuan luar negeri adalah prinsip anggaran ... A. berimbang B. tradisional C. fungsional D. dinamis absolut Jawab C. benar, merupakan prinsip anggaran dimana fungsi bantuan luar negeri untuk pengeluaran pembangunan 8. Anggaran dapat menjadi instrumen untuk pembagian kembali pendapatan dalam bentuk pembiayaan tranfer atau subsidi, karena anggaran memiliki fungsi .. A. alokasi B. akumulator C. stabilisasi D. distribusi Jawab D. benar, anggaran dipergunakan sebagai alat dalam rangka pembagian kembali pendapatan 9. Sistem anggaran yang relatif tepat digunakan pada saat perekonomian mengalami inflasi adalah sistem anggaran ... A. surplus B. berimbang C. defisit D. tradisional Jawab A. benar, sistem anggaran ini relatif tepat digunakan pada saat inflasi 10. Jika pengeluaran pemerintah ditentukan dengan melihat akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional, maka jenis kebijakan fiskal yang digunakan adalah ... A. pembiayaan fungsional B. pengelolaan anggaran C. stabilisasi anggaran otomatis D. anggaran belanja seimbang Jawab A. benar, pengeluaran pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan kerja 11. Kenaikan nilai uang secara terbuka akibat harga barang menurun disebut sebagai ... A. inflasi B. inflatoir C. hiper inflasi D. deflasi Jawab D. benar, merupakan kenaikan nilai uang akibat harga barang turun 12. Pembebanan pajak terhadap barang yang melewati batas negara yang penghitungannya berdasar persentase nilai barang adalah tarif ... A. ad valorem B. spesifik C. kuota D. foreign exchange rate Jawab A. benar, tarif ad valorem dihitung berdasar persentase nilai barang 13. Agar daya saing ekspor barang/jasa meningkat, pemerintah dapat menurunkan nilai uang. Kebijakan ini disebut sebagai ... A. defisit B. deflasi C. devaluasi D. devisa Jawab C. benar, merupakan penurunan nilai uang secara resmi oleh pemerintah 14. Utang pemerintah yang dijamin dengan kekayaan negara sebesar nilai utang tersebut disebut sebagai... A. debt service ratio B. debt service capacity C. dead weight debt D. reproductive debt Jawab D. benar, merupakan utang dengan jaminan kekayaan negara 15. Beban akibat pinjaman luar negeri berupa kerugian dalam bentuk hilangnya kesejahteraan adalah .... A. beban uang langsung B. beban riil langsung C. reproductive debt D. dead weight debt Jawab B. benar, merupakan beban akibat pinjaman luar negeri dalam bentuk hilangnya kesejahteraan 16. Pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing luar negeri untuk membiayai kontrak jual beli antara pemerintah dan kontraktor dalam atau luar negeri adalah ... A. OBLIGASI B. CASH LOAN C. FLOATING RATE NOTE D. INSTALLMENT SALE FINANCING Jawab D. benar, merupakan pinjaman untuk membiayai kontrak jual beli antara pemerintah dengan kontraktor 17. Masalah yang memerlukan keputusan dalam siklus anggaran PPBS terutama yang berkaitan dengan biaya, arah program, dan alternatif kebijaksanaannya merupakan masalah ... A. program utama B. struktur program C. program induk D. program Jawab A. benar, maslah program utama berkaitan dengan biaya, arah program dan alternatif kebijaksanaannya 18. Fungsi utama yang relatif efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam konteks keuangan negara adalah ... A. alokasi B. stabilisasi C. distribusi D. akumulator Jawab A. benar, pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan masyarakat lokal 19. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil adalah ... A. traditional budget B. performance budget C. balance budget D. planning, programming budgeting system Jawab B. benar, anggaran ini berorientasi kinerja 20. Semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah adalah ... A. pendapatan daerah B. belanja daerah C. pembiayaan D. belanja pembangunan Jawab D. benar, merupakan pengeluaran daerah yang menjadi beban daerah 21. Tahapan dalam siklus anggaran daerah yang memiliki kaitan erat dengan aspek akuntabilitas adalah ... A. budget preparation B. ratifikasi anggaran C. budget implementation D. pelaporan dan evaluasi anggaran Jawab D. benar, berkaitan dengan aspek akuntabilitas 22. Tahapan dalam siklus anggaran daerah yang melibatkan proses politik adalah ... A. budget preparation B. budget ratification C. budget implementation D. pelaporan dan evaluasi anggaran Jawab B. benar, tahap ini melibatkan proses politik pada lembaga legislatif 23. Anggaran pendapatan dan belanja desa ditetapkan setiap tahun dengan .... A. peraturan desa B. peraturan bupati C. peraturan daerah D. undang-undang Jawab A. benar, anggaran pendapatan dan belanja desa ditetapkan dengan peraturan desa Pilihlah A, jika 1 dan 2 benar; B, jika 1 dan 3 benar; C, jika 2 dan 3 benar; dan D, jika semuanya benar 24. Pelaksanaan administrasi keuangan negara menganut sistem pengurursan keuangan yang terdiri dari pengurusan ... 1. administrastif 2. bendaharawan 3. otorisator Jawab A. benar, sistem pengurusan keuangan meliputi pengurusan administratif dan bendaharawan 25. Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara terpenting memiliki ciri ... 1. ditetapkan dengan undang- undang 2. dapat dipaksakan 3. exclution principle Jawab A. benar, pajak memiliki ciri antara lain ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan 26. Penerimaan luar negeri berupa bantuan proyek merupakan pinjaman yang diterima dalam bentuk ... 1. uang 2. barang 3. jasa Jawab C. benar, bantuan proyek berbentuk barang dan/atau jasa 27. Pengeluaran pemerintah yang bersifat exhaustive expenditure dapat berupa ... 1. jasa guru 2. subsidi BBM 3. mesin-mesin Jawab B. benar, exhaustive expenditure dapat berupa jasa guru atau pembelian mesin- mesin 28. Jumlah dana yang besarnya selalu sama dengan pembiayaan proyek adalah ... 1. pinjaman program 2. bantuan proyek 3. pinjaman proyek Jawab C. benar, pembiayaan proyek meliputi bantuan dan/atau pinjaman proyek 29. Tujuan kebijakan fiskal adalah mencapai kestabilan ... 1. ekonomi yang lebih mantap 2. jumlah uang yang beredar 3. harga-harga umum Jawab B. benar, tujuan kebijakan fiskal antara lain untuk mencapai kestabilan ekonomi yang mantap dan harga-harga umum 30. Instrumen yang dapat digunakan dalam kebijakan moneter adalah... 1. casha ratio 2. open market policy 3. kebijakan suku bunga deposito Jawab A. benar, , instrumen kebijakan moneter meliputi casha ratio, open market policy, dan kebijakan suku bunga deposito 31. Pada dasarnya, pinjaman negara dapat diperoleh dari ... 1. sektor perusahaan 2. bank umum 3. bank sentral Jawab D. benar, pinjaman negara dapat diperoleh antara lain dari sektor perusahaan, bank umum dan bank sentral 32. Pinjaman luar negeri yang diterima negara- negara berkembang berdasarkan bentuknya terdiri dari ... 1. official development fund 2. kredit ekspor 3. pinjaman komersial Jawab A. benar, Pinjaman luar negeri yang diterima negara- negara berkembang berdasarkan bentuknya terdiri dari official development fund dan kredit ekspor 33. Motivasi ekonomi negara donor dalam memberikan pinjaman berupa utang luar negeri antara lain ... 1. mempercepat proses pembangunan 2. menutupi kelangkaan sumber daya dalam negeri negara penerima pinjaman 3. mengamankan kepentingan negara donor Jawab A. benar, motivasi ekonomi negara donor antara lain untuk mempercepat proses pembangunan dan menutupi kelangkaan sumber daya dalam negeri negara penerima pinjaman 34. Bukti utang pada utang berjangka sedang dan panjang antara lain ... 1. obligasi 2. rekening 3. sertifikat Jawab B. benar, bukti utang berjangka sedang atau panjang adalah obligasi dan sertifikat 35. Kesulitan yang dihadapi jika PPBS diterapkan pada organisasi pemerintah antara lain terletak pada upaya untuk .... 1. mendefinisikan tujuan yang hendak dicapai 2. mengukur output dari pelayanan publik 3. memfokuskan orientasi penganggaran pada pengawasan Jawab A. benar, kesulitan yang dihadapi organisasi pemerintah dalam penerapan PPBS antara lain terletak pada sukarnya mendefinisikan tujuan yang hendak dicapai dan sukarnya mengukur output dari pelayanan publik 36. Tujuan dari PPBS antara lain ... 1. mengidentifikasi dan mengkaji tujuan yang sebaiknya dicapai 2. menganalisis output dari segi tujuan yang hendak dicapai 3. melaksanakan prinsip efisiensi dalam anggaran Jawab D. benar, tujuan PPBS antara lain mengidentifikasi dan mengkaji tujuan yang sebaiknya dicapai, menganalisis output dari segi tujuan yang hendak dicapai, dan melaksanakan prinsip efisiensi dalam anggaran 37. Ditinjau dari segi sistem dan tata cara penyusunannya, sistem budget terdiri dari ... 1. traditional 2. performance budget 3. PPBS Jawab D. benar, sistem budget meliputi traditional dan performance budget PPBS 38. PPBS memiliki karakteristik antara lain ... 1. berorientasi pada output 2. memiliki prinsip rolling plan 3. mendasarkan diri pada struktur program yang telah dibakukan Jawab D. benar, , karakteristik PPBS antara lain berorientasi pada output, memiliki prinsip rolling plan, dan mendasarkan diri pada struktur program yang telah dibakukan 39. Sumber pendapatan asli daerah antara lain terdiri dari ... 1. hasil pajak daerah 2. hasil retribusi daerah 3. bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan Jawab A. benar, sumber pendapatan asli daerah antara lain diperoleh dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah 40. Prinsip – prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah adalah ... 1. transparansi 2. akuntabilitas 3. value for money Jawab D. benar, Prinsip – prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah meliputi transparansi, akuntabilitas dan value for money 41. Hubungan keuangan pusat dan daerah tercermin pada ... 1. dana bagi hasil 2. dana alokasi umum 3. dana alokasi khusus Jawab D. benar, Hubungan keuangan pusat dan daerah tercermin pada dana perimbangan. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, DAU dan DAK 42. Struktur APBD dengan menggunakan pendekatan kinerja terdiri dari ... 1. pendapatan 2. belanja 3. pembiayaan Jawab D. benar, struktur APBD dengan pendekatan kinerja terdiri dari pendapatan, belanja daerah, dan pembiayaan 43. Sumber pendapatan asli desa terdiri dari ... 1. hasil usaha desa 2. hasil kekayaan desa 3. bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah Jawab A. benar, pendapatan asli desa antara lain bersumber dari hasil usaha desa dan hasil kekayaan desa 44. Bantuan dari pemerintah kabupaten kepada desa antara lain meliputi ... 1. bagian dari perolehan pajak daerah dan retribusi daerah 2. bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten 3. dana bagi hasil dari pajak bumi dan bangunan Jawab A. benar, bantuan pemerintah kabupaten kepada desa antara lain meliputi bagian dari perolehan pajak daerah dan retribusi daerah dan bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten 45. Kegiatan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa yang ditetapkan setiap tahun meliputi ... 1. penyusunan anggaran 2. pelaksanaan tata usaha keuangan 3. perubahan dan perhitungan anggaran Jawab D. benar, Kegiatan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa meliputi penyusunan anggaran, pelaksanaan tata usaha keuangan, dan perubahan dan perhitungan anggaran Download Soal UT Ilmu Administrasi Negara Administrasi Keuangan Anda tidak perlu lagi melakukan copy-paste soal-soal di atas untuk menyimpannya. Kami telah menyiapkan soal-soalnya dalam bentuk dokumen PDF, yang dapat Anda unduh langsung melalui link berikut ini. Sekian artikel terkait Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara ADPU4333 Administrasi Keuangan dilengkapi Kunci Jawaban, kami berharap soal-soal di atas bisa menjadi solusi Anda dalam belajar nantinya. Jika Anda mengalami kesulitan dengan konten-konten pada situs ini, atau ada hal yang ingin Anda tanyakan pada kami, silahkan hubungi kami melalui halaman Contact pertanyaan Anda akan segera mungkin kami jawab, terima kasih.
Prosesinteraksi antara pemerintah dan masyarakat untuk menentukan kebijakan (kebaikan bersama). Kelompok ini bersifat formal dan memiliki fungsi-fungsi politik atau sosial. Pemerintah di suatu negara merupakan suatu sistem politik yang terdiri atas unsur-unsur yang ada di dalam pemerintah berupa perangkat pemerintahan (lembaga Nusa Dua - Hubungan antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan. Terlepas ekonomi terselip dalam setiap elemen kenegaraan, hubungan antara ekonomi dan politik menjadi hal yang saling berkaitan satu sama pemahaman seorang ahli ekonomi akan bidang politik perlu ditanamkan. Paling tidak harus memiliki pemahaman terkait antara hubungan ekonomi dengan politik."Saya ingin sampaikan bahwa dalam dunia nyata, ekonomi tidak terlepas dari politik, itu dua sisi satu mata uang. Memang kita nggak bisa mengajarkan politik di Fakultas Ekonomi tapi sense ekonomi terkait satu sama lain itu harus ditanamkan," jelas Gubernur Bank Indonesia era 2008-2009 Boediono dalam paparannya dalam pelatihan Training of Trainers Kebanksentralan di Hotel Conrad, Nusa Dua, Bali, Rabu 30/03/2016. Tidak hanya itu, mahasiswa yang melakukan studi ekonomi juga perlu membuka diri akan praktik keilmuan lainnya guna mendukung analisis kebijakan ekonomi di masa mendatang."Seorang ekonom dalam praktik harus tahu sedikit-sedikit tentang hukum, politik, dan juga sosiologi," tambah diri seorang individu mampu menambah pandangan yang lebih dalam akan praktik dan permasalahan ekonomi yang akan terjadi."Dalam praktik, anda harus tahu hukum, harus tahu politik, harus tahu sejarah. Jangan memyempitkan pandangan anda, nanti anda kurang berguna dalam dunia nyata," ujar Boediono. ang/ang interaksimenentukan motivasi mau-pun sikap dan perilakunya. 2. Perubahan Sistem Politik dan Pemerintahan Reformasi sistem sosial yang ter-jadi setelah berakhirnya pemerinta-han Orde Baru pada tahun 1998 telah menggantikan sistem politik otoriter dengan demokratisasi. Dalam kaitan ini, TNI/POLRI telah meninggalkan Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of ā€œSistem Penerimaan Negara secara Elektronikā€ SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 8 Nomor 2, 2015, halaman 141-262 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara. STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Redaksi Prof. Heru Subiyantoro, Dr. Roberto Akyuwen, Yoopi Abimanyu, Mitra Bestari . Prof. Dr . Abdul Halim, Akt. Dr. Akhmad Makhfatih, Dr. Artidiatun Adji, M,Ec Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, Prof. Ir. Noer Azam Achsani. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, Dr. Ir. Tanti Novianti, Zaafri Ananto Husodo, Redaktur Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., Editor Ahli Muh Nurkhamid Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Nur Etaruni VMI Bimo Adi Sekretariat ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. 021 7394666 7204131; Faksimili 021 7261775,7244328; webpage e-mail jurnalbppk Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 JURNAL BPPK Volume 8, Nomor 2, 2015 DAFTAR ISI ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Studi Kasus Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum Renny Sukmono THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 213-228BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Balai Diklat Keuangan Malang, Indonesia, Email agungdarono Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berkaitan dengan pendapat atau kebijakan institusi penulis berafiliasi Diterima Pertama 29 September 2015 Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of ā€œSistem Penerimaan Negara secara Elektronikā€ SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Politik-institusional merupakan sebuah konsep untuk menggambarkan bagaimana kuasa-dan-wewenang aktor dalam organisasi menumbuhkan situasi saling-pengaruh interplay sehingga daripadanya suatu ā€œinstitusiā€ yaitu sebuah pola perilaku tertentu yang stabil, berulang dan mempunyai tujuan akan muncul atau hilang. Pengembangan, implementasi, keberterimaan, dan juga ketahanan Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik SPNsE sebagai sebuah institusi juga tidak lepas dari proses saling pengaruh tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik interpretive policy analysis dengan memanfaatkan berbagai data sekunder berupa dokumentasi sistem dalam pengertian yang luas, dalam bentuk ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga nota kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan dan implementasi sistem. Pelajaran yang diperoleh dari implementasi SPNsE ini adalah bagaimana organisasi pemerintahan dapat memanfaatkan aspek politik-institutional ini dan kemudian menjadikannya sebagai pendorong pencapaian tujuan organisasi. Kesimpulan penelitian ini berupa pemahaman mendalam atas masalah penelitian, yakni bahwa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE berkelindan dengan 1 kontrol-institusional sebagai akselerator munculnya sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauankuasa sang aktor. agensi institusi kontrol penerimaan negara resistensi 1. PENDAHULUAN Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berwenang menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, Menteri Keuangan telah menerbitkan beberapa peraturan, terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/ tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik selanjutnya PMK-32. Penerbitan PMK-32 ini merupakan bagian dari serangkaian ketentuan yang telah keluar sebelumnya secara bertahap untuk melengkapi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pelbagai ketentuan tentang sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Dari sudut pandang bagaimana alur sebuah sistem direncanakan hingga diimplementasikan lihat misalnya McLeod dan Schell 2001, terdapat sebuah gejala yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut terkait dengan keberadaan sistem penerimaan negera ini. Telaah yang diharapkan dapat digunakan untuk memahami bagaimana implementasi sebuah sistem informasi di sektor pemerintahan berlangsung dengan sukses. Salah satu dokumen penting yang menandai tahapan pengembangan dan implementasi sistem tersebut adalah adanya surat yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tertanggal 16 September 2003 kepada International Monetary Fund IMF. Surat ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian pemberian bantuan keuangan untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 IMF, 2003. Surat tersebut antara lain menyatakan bahwa ā€œā€¦ By June 2003, the electronic tax filing and payment system will be expanded to process 75 percent of DGT tax collections… ā€œ. Atas pernyataan dalam surat tersebut kemudian Menteri Keuangan mengambil tindakan, yang antara lain adalah mengeluarkan beberapa peraturan untuk; 1 mengubah persyaratan penunjukkan sebuah bank atau tempat lain yang dapat menjadi tempat pembayaran ke kas negara antara lain adalah bank ataupun kantor pos yang mampu melakukan komunikasi data dengan pihak otoritas perbendaharaan Menteri Keuangan Direktur Jenderal Perbendaharaan melalui standar tertentu; 2 mengatur mekanisme pengesahan penerimaan negara melalui bank persepsi dengan sebuah sistem-aplikasi yang disebut dengan Modul Penerimaan Negara MPN Darono, 2011; 2013b. Berbagai ketentuan yang berkaitan ini secara bertahap terus diperbaiki hingga terbitnya peraturan tentang Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik/SPNsE lihat Tabel 1 untuk perkembangan keberadaan sistem ini. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa SPNsE ini telah dirilis dan berjalan dengan nama yang dikenal secara populer sebagai ā€œMPN-G2ā€ DJPb, 2014; DJPb, tanpa tahun. Pada tahap ini perubahan signifikan yang terjadi adalah adanya fasilitas kode billing yang digunakan sebagai sarana berbagai jenis setoran penerimaan negara pajak, bea masuk, cukai ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP sehingga selain secara konvensioal melalui teller pembayaran/penyetoran dapat dilakukan melalui ATM, internet banking ataupun Electronic Data Capture EDC . Sistem yang dikembangkan tersebut secara teknologi dapat dikatakan menjadi tonggak sejarah penting pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi TIK dalam sistem informasi manajemen keuangan negara di Indonesia. Kesimpulan demikian ini dapat diajukan setidaknya karena SPNsE ini sejak wal pengembangannya 1 mulai melibatkan pertukaran informasi antar berbagai entitas penyedian informasi secara online dan real-time; 2 pertukaran informasi tersebut bersifat transaksional, bukan lagi ā€œsekedarā€ brosur sebagaimana disinggung oleh Bank Dunia 2002. Bahkan SPNsE merupakan ini sistem bersifat kritikal dan sensitif karena berkenaan dengan nilai uang dalam jumlah besar dan sekaligus jumlah penggunanya yang massif. Dalam pandangan penulis, dinamika yang berkaitan dengan pengembangan dan implementasi SPNsE tersebut akan menarik jika dipandang dengan menggunakan lensa sosio-teknikal dalam ranah kajian kebijakan publik, khususnya keuangan itu, penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman terutama aspek sosio-teknikal atau lebih tepatnya politik-institusional atas proses pengembangan dan implementasi SPNsE ini. Artinya, penjelasan dan analisis yang disajikan penelitian ini lebih menekankan pada aspek non-teknikalnya. Pemahaman atas aspek sosial dalam hal ini terutama aspek politik-institusional, diharapkan semakin melengkapi pelbagai penjelasan atau kajian atas isu yang sifatnya teknis-teknologikal. Penelitian ini mencoba berkontribusi baik untuk kajian keuangan negara ataupun pemanfaatan teknologi informasi di sektor pemerintahan. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini, sebagaimana lazimnya penelitian yang menggunakan paradigma interpretif, adalah pemahaman mendalam mengenai aspek politik-institusional dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi berbasis teknologi di sektor pemerintahan. Pemahaman verstehen, lihat misalnya Bungin, 2012 yang nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebijakan ataupun operasional sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Mengapa aspek politik-institusional yang dipilih sebagai sudut pandang untuk memahami pengembangan dan implementasi sebuah sistem informasi secara mendalam? Setidaknya terdapat alasan yang cukup kuat, dengan merujuk Lawrence 2008 dan juga Darono 2014;2015. Peneliti pertama menyimpulkan bahwa aspek kuasa power belum dibahas secara eksplisit dalam kajian institusional. Peneliti yang terakhir menyatakan aspek institutisonal dalam pengembangan dan implementasi TIK di sektor publik belum banyak diungkapkan. Kajian institutional sering tidak secara eksplisit mengungkapkan relasi kuasa-politik dengan keberadaan ketidakberadaan sebuah institusi. Mengapa suatu institusi itu ada, bagaimana ia bertahan atau bahkan ia kemudian dihapuskan. Pada sisi yang lain, beberapa penelitian tentang yang membahas kaitan aspek kuasa-politik dalam kaitannya dengan keberadaan dalam organisasi juga belum secara tegas memasukkan aspek institusional ke dalamnya Lawrence, 2008. POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Terlebih jika situasi di atas diletakkan dalam konteks penelitian pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara di Indonesia, masih sangat jarang membahas aspek sosial-teknikal sebagai bagian kerangka analisisnya lihat misalnya Darono, 2012; 2013a; 2013b. Padahal, merujuk Larsen et al. 2014, terdapat cukup banyak alternatif kerangka konsepsual yang dapat digunakan untuk memahami pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara sebagai sebuah konstruksi sosio-teknikal. Pada tingkat tertentu, dalam hemat penulis, penggunaan perspektif politik-institusional dalam tulisan ini diharapkan mempunyai kontribusi untuk melengkapi berbagai sudut pandang yang selama ini telah ada baca sudut pandang positivistik ataupun determinisme-teknologi. Perspektif tersebut pada gilirannya diharapkan bermanfaat baik dalam ranah kajian akademis ataupun kebijakan praktis, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan TIK untuk manajemen keuangan negara di Indonesia. Sistematika penyajian makalah ini adalah bagian pertama menyajikan latar belakang dan tujuan penelitian. Selanjutnya, bagian kedua merupakan tinjauan literatur yang berkaitan dengan politik-institusional sebagai kerangka konsepsual yang digunakan dalam tulisan ini. Bagian ketiga menyajikan uraian tentang SPNsE sebagai konteks kasus yang dibahas. Pada bagian selanjutnya, kelima, makalah ini akan mendisikusikan berbagai temuan penelitian, hikmah lesson learned apa yang dapat dari berbagai temuan penelitian, dan rekomendasi kebijakan. Terakhir, bagian keenam menyajikan kesimpulan 2. SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK KONTEKS KASUS Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 5/ tentang Penunjukkan Bank sebagai Bank Persepsi dalam Rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara KMK-5. Keputusan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah adanya persyaratan yang mewajibkan bank atau kantor pos yang akan mengelola penerimaan negara disebut sebagai Bank Persepsi untuk 1 memiliki jaringan sistem informasi yang terhubung langsung secara online antara kantor pusat dan seluruh atau sebagian kantor cabangnya; 2 kantor pusat bank/kantor pos memiliki jaringan komunikasi data yang dapat dihubungkan secara online dengan jaringan komunikasi data yang dioperasikan oleh Kementerian Keuangan Kemenkeu. Sebagai kelanjutan dari perubahan atas KMK-5, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang Modul Keuangan Negara MPN sebagai mekanisme teknik yang mengatur bagaimana koneksi data antara Bank Persepsi dengan otoritas perbendaharaan negara untuk pembahasan detil tentang MPN sebagai layanan elektronis lihat misalnya Darono, 2011. Implementasi MPN berlanjut terus dengan segala perkembangan dan dinamikanya sehingga diterbitkannya PMK-32. Gambar 1 menjelaskan alur data dalam SPNsE yang terjadi di antara biller bagian otoritas fiskal yang mempunyai fungsi penerimaan negara, dalam hal ini DJP, DJBC dan DJA dengan collecting agent bank/pos persepsi, dapat berupa teller, internet banking; atau ATM. Pembayaran/penyetoran ke kas negara dapat dilakukan oleh wajib pajak/wajib bayar melalui collecting agent setelah mereka mendapatkan kode billing dari biller. Sebagaimana diulas dalam Darono 2011, MPN yang dikembangkan dengan prinsip-prinsip layanan elektronis e-services sesuai namanya yang ā€œmodularā€ memang berpeluang untuk diintegrasikan dengan berbagai modul lain, baik dengan layanan elektronis milik otoritas perbendaharaan sendiri misalnya SPAN ataupun milik otoritas penerimaan negara lainnya DJP, DJBC, DJA ataupun kementerian/lembaga yang mengelola PNBP. Hal ini diungkapkan oleh pihak DJP sebagai otorisator PNBP dari berbagai kementerian/lembaga lain yang juga sudah mempunyai sistem informasi yang berkaitan dengan masing-masing jenis PNBP. Integrasi antar aplikasi ini tetap masih berlangsung, sebagaimana diungkapkan bahwa ā€œ... Launching aplikasi SIMPONI-BARANTAN sejatinya merupakan langkah awal dalam melakukan integrasi dengan K/L lainnya. Saat ini beberapa K/L tengah dalam proses pengerjaan integrasi sistem dengan SIMPONI, antara lain BINFAR-Kementerian Kesehatan; AHU, HAKI dan Imigrasi-Kementerian Hukum dan HAM; serta MOMI-Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Melalui kerjasama ini, kedepannya diharapkan jumlah PNBP yang diterima menjadi lebih meningkat disertai dengan pelayanan kepada masyarakat yang tetap optimal. ... ā€œ Sumber Gambar 1 Alur Data Antara Biller DJP, DJBC, DJA melalui MPN-G2 sebagai Switch dengan Collecting Agent Bank/Pos Persepsi Sumber diadaptasi dari Masdi 2012 Menteri Keuangan Bendahara Umum Negara/BUN mempersiapkan sistem-aplikasi yang akan dikoneksikan dengan collecting agent dan biller, POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 yang dinamai dengan Modul Penerimaan Negara MPN. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang MPN ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai ketentuan teknis dan pelaksanaan di bawahnya baik yang terkait dengan otoritas perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, penganggaran Direktorat Jenderal /DJA, otoritas kepabeanan dan cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai/DJBC ataupun perpajakan Direktorat Jenderal Pajak/DJP. Ketentuan teknis tersebut antara lain mencakup ketentuan tentang bagaimana otoritas perbendaharaan sebagai Kuasa BUN mengatur MPN itu agar dapat berfungsi sebagai perangkat yang mencatat penerimaan negara secara valid dan reliabel. Salah satu ketentuan yang sangat krusial dalam implementasi MPN adalah bahwa sebuah tempat pembayaran yang mengajukan diri sebagai Bank Persepsi harus menjalani acceptance test dan memenuhi prosedur standar rekonsiliasi antar-pihak yang saling bertukar data. Termasuk di dalamnya juga aturan tentang proses rekonsiliasi data antara pihak yang bertukar informasi Bank Persepsi, otoritas perpajakan dan otoritas pebendaharaan DJPb, tanpa tahun. Dalam tatarannya yang lebih teknis, DJP, DJBC dan DJA sebagai biller masing-masing telah menerbitkan yang mengatur bagaimana mereka berinteraksi dengan collecting agent dan MPN. Perkembangan sistem penerimaan negara ini secara lebih ringkas dapat ditelusuri dari perubahan ketentuan hukum yang mengatur tentang hal ini. Tabel 1 memaparkan timeline pelbagai perubahan ketentuan tersebut. Tabel 1 Timeline Perkembangan Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara KMK Nomor 5/ Penunjukan Bank Sebagai Bank Persepsi dalam rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara Belum secara eksplisit menyebutkan keberadaan sistem penerimaan negara secara elektronik KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak Otoritas perpajakan mengambil inisiatif untuk mengembangkan sistem MP3 yang mengoneksikan data antara Bank Persepsi dengan otoritas perpajakan lihat juga Darono, 2011 KMK 210/ 455/ Perubahan terhadap 5/ Untuk menjadi Bank Persepsi, wajib 1 mempunyai jaringan komunikasi data yang mencakup semua kantor bank yang bersangkutan, 2 jaringan ini harus terkoneksi dengan Direktorat Jenderal Pajak DJP dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan; 3 memperoleh rekomendasi dari DJP KMK 536/ 547/ Perubahan terhadap 5/ Bank Persepsi yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaiman disebut dalam Pasal 2 ayat 3 masih dapat menerima setoran penerimaan negara 30 Juni 2003 Memorandum of Economic and Financial Policies dari Pemerintah RI dan BI kepada IMF Pada akhir Juni 2003, pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik PMK 99/ dan Perubahannya Modul Keuangan Negara MPN Untuk melengkapi ketentuan dalam KMK Nomor 5/ dalam hal pengaturan tentang bagaimana sistem penerimaan negara beroperasi. MPN mengintegrasikan beberapa aplikasi pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya terpisah MP3 DJP, SISPEN DJA, EDI BJBC PMK 60/ Uji coba Billing Systems melalui MPN Uji coba penambahan fitur MPN yang memperluas cara membayar tagihan pajak tertentu tidak hanya via teller bank namun juga melalui ATM, ataupun internet banking dengan menggunakan Kode Billing PMK 32/ Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik Penerimaan Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi seluruh Penerimaan Negara yang disetorkan yang diterima melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan Kode Billing. PMK ini tentang SPNsE ini ā€œsecara populerā€ dikenal sebagai MPN-G2, yaitu MPN dengan beberapa fitur baru lihat Gambar 1 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Perdirjen BC PER-07/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Uji coba tata cara penyetoran berbagai jenis penerimaan yang dikelola oleh DJBC PER-33/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Impor Barang Yang Dibawa Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut Dengan menggunakan Kode Billing PER-36/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Dengan Kode Billing pada Kantor Pelayanan Yang Belum Menerapkan Pertukaran Data Elektronik PDE atas Pelayanan Ekspor PER-38/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pencacahan/Pemeriksaan Paket Pos PPKP Dengan Menggunakan Kode Billing PER-39/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pelayanan Impor Dengan Menggunakan Kode Billing. Perdirjen Anggaran Nomor PER-1/AG/2014 tentang Tata Cara Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Non Anggaran Secara Elektronik. Tata Cara Pembuatan, Perekaman, dan Pembuatan Kode Billing dan Sistem Billing PNBP yang meliputi Billing untuk Migas, SDA Non Migas, BUMN. Dikenal sebagai sistem-aplikasi Simponi-PNBP Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai perluasan PMK-32, transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui Teller Bank/Pos Persepsi, Anjungan Tunai Mandiri ATM, Internet Banking dan EDC. Atas pembayaran/ penyetoran pajak tersebut Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara BPN sebagai bukti setoran Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-182/PJ/2015 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai tindak lanjut PER-26/PJ/2014, Dirjen Pajak menunjuk Bank Mandiri, BRI dan BNI untuk menjalankan uji coba pembayaran pajak dengan menggunakan EDC yang secara populer dikenal dengan ā€œMini ATMā€ Sumber diadaptasi dari Darono 2013b, diolah kembali 3. TINJAUAN LITERATUR Politik Institusional Kuasa, Kontrol, Keagenan dan Resistensi dalam Institusi Kajian institusional berangkat dari kajian-kajian di bidang sosiologi. Emile Durkheim sebagaimana dikutip Sunarto 2004 menyatakan bahwa jika ekonomi adalah studi tentang pasar maka sosiologi studi tentang institusi sosial, selain pasar. Koentjaraningrat 1983 memberikan istilah pranata sebagai padanan institusi untuk membedakannya dengan ā€œinstitutā€ sebagai padanan ā€œlembagaā€. Menurut Koentjaraningrat, pranata adalah perilaku manusia yang berpola teratur. Tulisan ini akan menggunakan istilah institusi lebih karena alasan praktis. Istilah institusi sudah secara luas dan lebih sering digunakan. Pemakaian istilah dan kajian tentang institusi ini kemudian berkembang dan mewarnai berbagai kajian pada disiplin yang lain seperti ekonomi, politik, hukum ataupun studi organisasi. Bahkan kemudian juga studi di bidang TIK bersamaan dengan munculnya kajian informatika sosial lihat misalnya Kling, 1999; Kling, et al., 2005; Darono, 2012. Kajian TIK-institusional merupakan kerangka pemikiran yang dapat memperjelaskan atau memahami TIK sebagai artefak-sosial lihat misalnya Avgerou, 2000; Avgerou, 2004; Ezer, 2005; Currie, 2008. Kajian Kling, et al. 2005 dan juga Kling 1999 dapat dikatakan sebagai ā€œmanifestoā€ yang menyatakan pentingnya pengungkapkan aspek-aspek sosial, termasuk aspek institusional yang menyertai implementasi TIK sebagai bagian dari sistem sosial yang luas. Luas cakupan disiplin yang menggunakan istilah institusi pada gilirannya juga menjadikan peneliti di bidang ini tidak dapat merumuskan ā€œdefinisi tunggalā€ tentang institusi itu sendiri. Kajian Cole 2013 mengungkapkan berbagai definisi tentang institusi dari berbagai disiplin, termasuk diskusi tentang apakah organisasi itu aktor atau institusi. Untuk kepentingan praktis, penelitian ini memilih definisi operasional institusi sebagai semua keyakinan dan cara berperilaku yang dibentuk oleh kesepakatan bersama Carls, tanpa tahun. Beberapa peneliti kajian institusional mengajukan perlunya membedakan aktor dengan institusi ini secara tegas karena nantinya akan memengaruhi teknik dan hasil analisis yang akan disajikan Lawrence, 2008;Cole, 2013. Terdapat setidaknya dua sudut pandang yang berbeda mengenai peranan aktor dalam kaitannya dengan institusi ini. Pandangan pertama yang diajukan antara lain oleh Meyer dan Rowan 1977, Scott 2004 ataupun juga Thornton POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dan Ocasio 2008 yang lebih menekankan pada penting struktur yang melingkupi keberadaan instusi daripada aktor itu sendiri. Pada sisi yang lain, terdapat pandangan yang kedua, misalnya merujuk pada Lawrence 2008 dan Weir 2003 berpandangan sebaliknya, bahwa aktor lebih beperanan dibandingkan dengan struktur dalam keberadaan suatu institusi. Berangkat dari kedua pandangan tersebut, sebagaimana tesis yang diajukan Lawrence 2008, maka penelitian ini akan memilih sudut pandang yang kedua, bahwa aktor mempunyai peran yang lebih besar daripada struktur yang melingkupinya. Tema diskusi yang berkembang sepanjang perjalanan bidang kajian institusional ini menunjukkan bahwa penggunaan proposisi-proposisi institusional dalam disiplin sosiologi-organisasi kemudian memunculkan istilah old- dan juga new- atau neo- institutionalism. Dalam pandangan para penganjur neo-institutsional berpandangan bahwa kajian tentang institusi bukanlah semata-mata menelaah bagaimana institusi sebagai bagian dari sebuah struktur sosial terbentuk dan kemudian menjadi menjadi pendorong-atau-pengekang perilaku sosial bagi para aktor yang terlibat dengannya. Neo-institusional merupakan sebutan untuk himpunan berbagai proposisi yang menyatakan bahwa 1organisasi berada dalam sebuah lingkungan-keorganisasian organizational-field dan karenanya muncul tekanan institusonal institutional pressures; 2 adanya institusional logic sebagai keyakinan, nilai, asumsi, praktik-yang-nyata dan aturan yang secara sosio-historis dikonstruksikan kemudian digunakan oleh setiap individu untuk memreproduksi dalam keseharian mereka, dalam ruang-waktu mereka untuk memaknai realitas sosial mereka; 3 keberadaan akan institutional sebagai tindakan untuk menghilangkan kelambanan dengan mencapai kolaborasi yang berkelanjutan di antara aktor yang bermacam-macam dan tersebar untuk membentuk institusi baru ataupun mengubah yang sudah ada; dan juga 4 adanya institutional arrangementyaitu bagaimana struktur tata kelola dikembangkan Yustika, 2010; Wahid, 2011; Wahid dan Sein, 2013. Berkaitan dengan debat ini, penulis mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mungkin untuk sebagian pakar analisis institusional akan dikatakan sebagaiā€œterlalu menyederhanakanā€ lebih menekankan pada apa itu institusi, sebagai sebuah entitas tunggal, sehingga tidak terlalu memperhatikan lingkungan field di mana ia berada. Sementara itu new-institutionalism melengkapi kajian yang telah ada itu dengan bagaimana institusi itu terbentuk dan bertahan. Bukan berarti, old-institutionalism menjadi tidak berlaku lagi dengan adanya new-institutionalism. Penyerderhanaan dengan tujuan praktis, bagaimana kerangka konsepsual ini dapat digunakan dengan mudah dalam konteks penelitian ini. Sebuah kritik terhadap kajian instiutional kemudian muncul dari kalangan cendekiawan yang menekuni bidang ini sendiri. Kritik tersebut berkaitan dengan bagaimana hubungan antara kuasa power dengan institusi terutama dalam hubungannya dengan kekuatan suatu institusi. MerujukScott, 2004 institusi merupakan struktur otoritatif untuk memaksakan aturan/kesepakatan yang dikandungnya kepada lingkungannnya, termasuk berbagai actor -manusia di dalamnya Lawrence 2008. Jika demikian halnya, lalu apakah tidak ada kaitan sama sekali antara politik sebagai cara untuk mendayagunakan kuasa untuk mencapai tujuan dengan keberadaan suatu institusi? Mengapa aspek politik kuasa ini belum jika tidak mau disebut ā€œdiabaikanā€ dibahas secara detil. Akibatnnya tekanan institusional lihat misalnya DiMaggio dan Powell, 1991 dianggap sebagai sebuah hal yang muncul begitu saja, tanpa harus memperhatikan bagaimana sistem kekuasaan itu bekerja sehingga tekanan itu terbentuk, bertahan ataupun menghilang. Situasi ini dianggap kontradiktif jika dikembalikan pada definisi institusi sebagai sebuah pola aturan perilaku yang dipatuhi dan berdaya tahan lama. Bagaimana mungkin membahas keberadaaan suatu hal yang dipatuhi dan mempunyai daya tahan tanpa membicarakan kuasa dan politik, demikian pandangan Lawrence 2008. Atas oto kritiknya terhadap analisis institusional ini, kemudian Lawrence 2008 mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mencoba menjelaskan hubungan antara politik dengan institusi. Pada dasarnya kerangka pemikiran ini muncul untuk melengkapi beberapa kerangka pemikiran sebelumnya yang terhimpun dalam analisis neo-institutional. Gagasan tentang politik-institusional ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperlengkap kajian neo-institusional yang cenderung menitikberatkan kajiannya pada tekanan dan logika institusional Meyer dan Rowan, 1977;Thornton dan Ocasio, 2008, namun lalai untuk menelaah lebih jauh bagaimana tekanan ataupun logika tersebut berasal. Kajian Lawrence 2008 kemudian menawarkan sebuah kerangka pemikiran yang disebut sebagai politik-institusional institusional politics. Konsep ini menawarkan proposisi bahwa kuasa power merupakan salah satu pembentuk hubungan antara aktor dengan institusi dan hal ini harus secara eksplisit ditelaah keberadaannya. Kerangka pemikiran ini menjelaskan lebih lanjut bahwa politik-institusional terdiri dari tiga aspek yang saling-memengaruhi yakni kontrol-institusional institutional-control, keagenan-institusional institutional-agency, dan resistensi-konstitusional institutional-resistance. Politik-institusional bekerja sebagai pembentuk, pengubah ataupun penghapus institusi baik pada level institusi tunggal maupun antar-institusi organizational-field. Gambar 2 menjelaskan politik-institusional sebagai kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini. Kuasa, Teks, Wacana dan Institusi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Bagian ini merupakan upaya penulis untuk membuat kerangka pemikiran politik-institusional yang ditawarkan Lawrence 2008 lebih mudah diaplikasikan untuk memahami keberadaan sebuah institusi sosial dalam hal ini adalah implementsi SPNsE dengan menggunakan teknik interpretive policy anaysis yang pada dasarnya adalah penerapan analisis wacana. Artinya pemahaman akan bagaimana politik-institusional itu ada dan memengaruhi sebuah institusi dalam suatu konteks sosial tertentu dapat dipahami dengan menggunakan pemahaman akan kuasa dan wacana. Dalam konstruksi pemikiran seperti itu maka penulis mengajukan sebuah kerangka analisis berbasis proposisi yang diajukan Phillips, et al.2004 dan Jones 2003 tentang bagaimana hubungan yang dapat terjadi antara kuasa, teks, wacana dan institusi. Kerangka yang dikembangkan inilah yang nantinya akan digunakan untuk menggali dan membahas temuan penelitian. Jones 2003 dengan merujuk teori wacana Foucault, menyatakan bahwa dengan berwacanalah manusia dapat menyatakan dan memahami realitas. Lebih lanjut, diuraikan bahwa jika seseorang ingin memahami situasi sosialpada suatu waktu tertentu, maka ia dapat melakukannya dengan memahami wacana apa yang dominan di lingkungan dan saat tertentu itu. Pada sisi lain Phillips, et al. 2004 dengan terlebih dulu menjelaskan bagaimana teks menjadi wacana, pada akhirnya mengajukan sebuah proposisi yang cukup menantang, bahwa ā€œsemua institusi merupakan produk diskursif, sementara itu tidak semua produk diskursif merupakan institusiā€. Jadi secara sederhana dapat digambarkan secara linier bahwa antara wacana teks yang dominan itu mengalami ā€œinstitusionalisasiā€. Pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan perubahan bentuk teks, wacana dan institusi tersebut? Jawabannya menurut Foucault sebagaimana didukung oleh Jones 2003 adalah kuasa. Untuk itu, sebagaimana telah diungkapkan pada awal bagian ini, pemahaman akan hubungan antara kuasa, teks, wacana dan institusi merupakan prasyarat penting dalam menggunakan konsep politik-institusional untuk menelaah keberadaan dan fungsi suatu institusi. Kerangka Penelitian Riawanti 2015 menyakan kerangka penelitian sebagai pedoman umum tentang bagaimana seorang peneliti mencari jawaban atas masalah penelitian yang diajukannya. Kerangka ini mencakup 1 hal-hal pokok yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama lain; 2 mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang terjadi dengan gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. hipotesis yang umum atau teori sementara sang peneliti. Jika diperlukan, kerangka ini dapat saja menyertakan hipotesis di dalamnya. Namun perlu diingat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif merupakan pedoman jalannya penelitian, bukan pernyataan yang akan diuji kebenarannya. Artinya, hipotesis dalam penelitian kualitatif dapat dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dengan penelitian itu mampu memberikan pemahaman memuaskan tentang gejala/situs/situasi yang sedang diamati. Berdasarkan konteks kasus yang diteliti, tinjauan literatur yang telah dikemukankan beserta uraian tentang kerangka penelitian, maka penelitian ini mengajukan kerangka pemikiran sebagai berikut ini. Kerangka ini jua merupakan penegasan atas tujuan penelitian, bahwa penelitian ini sebagai penelitian sosial kualitatif-interpretif adalah upaya untuk memahami sebuah konstruksi sosial yang berupa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE. Adapun sumber beserta teknik analisis data yang digunakan akan dijelaskan dalam bagian metode penelitian. Gambar 3 Kerangka Penelitian 4. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian merupakan cara peneliti untuk memilih paradigma, strategi, jenis bukti, dan Sumber datadokumentasi sistem, teknik interpretive police analysis Gambar 2 Politik-Institusional Sebagai Interaksi Antara Institusi dengan Aktor melalui Kontrol-, Resistensi-, dan Keagenan-Institusional Sumber Lawrence, 2008 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 teknik pengumpulan data penelitian yang sesuai dengan tujuan dan konteks penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma interpretif. Riset dalam paradigma interpretif mengasumsikan bahwa pengetahuan tentang realitas diperoleh melalui konstruksi sosial seperti bahasa, makna yang disepakati dalam sebuah masyarakat, berbagai dokumen atau artefak lainnya Yin, 1981; Howcroft dan Trauth, 2004; Moleong, 2010; Djamhuri, 2011; Wahyuni, 2012. Riset ini menggunakan metode penelitian studi kasus untuk menyelidiki fenomena empiris berupa implementasi SPNsE sebagai unit analisis yang tidak dapat dilepaskan dari konteks nyata kesehariannya bukan eksperimen dan datanya dianalisis secara kualitatif tidak menggunakan teknik statistika tertentu. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata Yin, 1981; 2009; 2011. Penelitian ini memenuhi kriteria studi kasus kasus tunggal sebagaimana yang dikemukakan Yin 2009 karena fenomena yang diteliti merupakan hal yang unik dan juga sekaligus sedang dan masih berlangsung. Objek penelitian ini adalah kebijakan publik dalam bentuk implementasi sistem-administrasi pemerintahan berbasis teknologi merupakan sebuah konstruksi sosial yang dapat dimaknai/ditafsirkan oleh para pemangku kepentingannya. Dalam pandangan Walsham 1993;2006, riset interpretif dengan objek sistem informasi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks sebuah sistem informasi beserta proses yang dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Perlu diperhatikan bahwa oleh para pemangku kepentingan dari sistem yang diteliti adalah agen-manusia yang mempunyai tafsir interpretasi tertentu berdasarkan latar belakang sosial mereka Myers, 1997; Walsham, 2006; Myers dan Klein, 2011. Berkaitan dengan objek penelitiannya, penelitian ini memilih untuk menggunakan interpretive policy analysis IPA sebagai kerangka kerja analisis data untuk membahas data penelitian, menggali temuan penelitian dan menyajikan hasil/temuan. Kerangka analisis data IPA pada dasarnya adalah suatu teknik analisis data kualitatif yang dikembangkan di bawah tradisi analisis wacana discourse analysis Glynos, et al., 2009. IPA dipilih karena pada dasarnya objek penelitan ini implementasi SPNsE adalah sebuah wacana discourse. Istilah wacana digunakan oleh banyak bidang kajian sehingga mempunyai bermacam-macam pengertian. Sosiologi mengartikannya sebagai konteks sosial pemakaian bahasa. Sedangkan menurut kajian bahasa linguistik, wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah Eriyanto, 2011. Sementara itu, psikologi memaknai seperangkat pernyataan yang saling mendukung untuk mengonstruksi sebuah objek Parker, 1992. Pada akhirnya penulis dengan merujuk berbagai pendapat yang telah diuraikan tersebut dan juga Hardy 2001; Berntsen, et al., 2004, Bondarouk dan Ruel 2004 dan Phillips, et al., 2004, mengajukan definisi wacana dalam tulisan ini yakni berbagai teks dalam berbagai bentuknya tertulis atau ujaran, dalam sebuah konteks tertentu yang menyertainya dan dalam letak kesejarahan tertentu. Sebuah teks dapat dipandang ā€œunit diskursifā€ sebagai manifestasi dari wacana tertentu sehingga menjadikan suatu objek itu ada. Berdasarkan batasan tersebut, kebijakan pengembangan dan implementasi SPNsE dapat dipandang sebagai sebuah wacana yang dapat ditelaah dengan menggunakan kerangka kerja IPA. ā€œPolicy creates politicsā€, demikian ungkap Schattschneider dalam Weir 2003. Artinya, kebijakan policy selalu membawa konsekuensi munculnya hal-hal yang bersifat politik kuasa-wewenang untuk menjadikan kebijakan itu terwujud. Lantas bagaimana hubungan antara kebijakan dan politik itu dapat dianalisis lebih lanjut secara kualitatif? Pada prinsipnya kerangka kerja IPA merupakan tindakan analisis terhadap formulasi, pelaksanaan ataupun evaluasi suatu kebijakan dengan cara mendapatkan pemahaman atas konteks dari sebuah kebijakan beserta proses yang menyertasi, dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Yanow dalam Glynos, et al. 2009 menguraikan penggunaan teori wacana Foucault dalam melaksanakan IPA. Teori tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Jones 2003 mengartikan wacana sebagai cara berpikir dan bertindak yang berbasis pada pengetahuan. Aliran pemikiran ini selanjutnya mengemukakan bahwa untuk memahami perilaku manusia pada suatu tempat dan waktu tertentu, temukanlah terlebih dulu wacana-wacana yang terdapat atau bahkan mendominasi pada tempat dan waktu itu. Dalam kaitan ini, perlu juga diungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disampaikan oleh Bondarouk dan Ruel 2004 yang patut diperhatikan oleh peneliti pada saat menggunakan analisis wacana ini sebagai eksplorasi terhadap saling pengaruh antara wacana, teks dan konteks dan bagaimana memilih teks yang membentuk wacana. Selanjutnya ditekanan bahwa, analisis wacana tidak semata-mata memusatkan perhatian pada teks tunggal namun sebagai serangkaian teks dengan tetap memperhatikan batang utama teks itu. Sejalan dengan itu, analisis harus dilakukan juga atas kedudukan dan bagaimana teks itu diproduksi. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa dokumentasi sistem secara luas Bowen, 2009, baik berupa ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam sistem. Sumber data tersebut akan dilengkapi dengan berbagai rilis ataupun liputan di media massa online/offline. Penulis kemudian dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang ada selama ini akan melakukan tindakan interpretif dengan menelaah berbagai dokumen tersebut. Hal ini POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dilakukan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks dan kaitan sosio-historisnya Glynos, et al., 2009; Eriyanto, 2011, dan selanjutnya mengajukan penafsiran dan pemaknaan tertentu atas proses telaah tersebut. 5. TEMUAN DAN DISKUSI Pengantar Penelitian ini menganalisis data sekunder berupa berbagai dokumentasi Bowen, 2009, baik yang berupa peraturan, berbagai laporan dari berbagai otoritas terkait, manual/prosedur standar operasional, ataupun rilis di media massa online/offline yang berkaitan dengan perkembangan impelementasi SPNsE. Analisis terhadap data yang sudah dikumpulkan untuk mendapatkan temuan penelitian dilakukan sesuai dengan urutan langkah penggunaan teknik IPA yang sudah dikemukakan oleh Yanow dalam Glynos, et al. 2009 sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendekatan penelitian. Yanow sebagaimana dikutip Glynos et al. 2009 menguraikan secara ringkas langkah-langkah penggunaan teknik IPA dalam suatu penelitian tentang yang mengasumsikan kebijakan publik sebagai sebuah wacana. Urutan langkah tersebut adalah 1 identifikasi semua artefak bahasa, objek, tindakan yang membentuk makna dari kebijakan yang diteliti; 2 identifikasi para pihak yang terkait dengan kebijakan; 3 identifikasi wacana yang relevan, yaitu makna tertentu yang dikomunikasikan melalui artefak yang ada; 4 interpretasi harus dipusatkan pada titik konflik yang terjadi dan dihubungkan dengan dari mana sumber yang menyebabkan perbedaan pemaknaan antar aktor yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Bagian berikut akan mendiskusikan temuan penelitian. Diskusi ini dengan menggunakan teknik analisi data IPA menitikberatkan pada bagaimana terjadinya perputaran antara kontrol-, resistensi- dan keagenen-institusional sehingga hubungan timbal balik antara aktor-institusi dapat terbentuk. Penelitian ini menemukan setidaknya empat hal penting yang layak dielaborasi lebih jauh berkaitan bagaimana hubungan antara institusi dengan aktor yang terlibat di dalamnya merupakan hasil dari saling-pengaruh interplay antara kontrol-, resistensi- dan keagenan-institusional. Temuan ini sampai dengan tahap tertentu merupakan konfirmasi terhadap apa yang digagas oleh Lawrence 2008 sebagai institutional politics dengan beberapa catatan. Keempat hal tersebut adalah pertama, bagaimana praktik-praktik diskursif dapat mengubah SPNsE dari wacana menjadi institusi lihat Phillips, et al., 2004. Kedua, bagaimana kontrol-institusional menggunakan kuasa-sistemik mengubah perilaku aktor. Ketiga, tindakan aktor untuk menggunakan pengaruh pengaruh dan tekanan mereka untuk mengubah institusi. Keempat, bagaimana aktor menghadapi resist terhadap adanya kontrol- ataupun keagenan- institusional. Pada akhir bagian ini akan disampaikan refleksi atas temuan penelitian dan juga rekomendasi kebijakan yang mungkin dapat dipertimbangkan stakeholder pengelolaan keuangan negara/daerah dalam kaitannya dengan pengembangan sistem informasi manajemen keuangan. SPNsE sebagai Institusi yang dibentuk Wacana Reformasi politik 1998 juga membawa dampaknya pada reformasi pengelolaan keuangan pemerintah Indonesia Nasution, 2007. Dalam lensa analisis wacana, pemahaman akan perubahan sosial dapat dilihat dari wacana yang dominan pada sistem sosial yang ada Jones, 2003. Menurut hemat penulis salah satu wacana dominan yang berkaitan dengan reformasi administrasi, termasuk di fungsi pengelolaan fiskal adalah isu tentang tata kelola governance dan transformasi kelembagaan. Boediono 2008; 2009 dan juga Sri Mulyani Indrawati Depkeu, 2009 menekankan pentingnya perubahan mendasar pada sisi governance ini sebagai pijakan awal untuk menuju pengelolaan fiskal yang transparan dan akuntabel. Lebih lanjut, Depkeu 2009 mengemukakan penting pengembangan sistem berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagai perangkat pengelolaan keuangan negara yang efisien. Selain tata kelola, wacana dominan yang dikembangkan oleh kementerian ini adalah transformasi kelembagaan. Kemenkeu 2015 menyatakan bahwa proses transformasi mencakup transformasi organisasi dan implementasi inisiatif strategis di seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan dan dititikberatkan pada 87 inisiatif strategis untuk lima tema utama transformasi, yaitu sentral meliputi organisasi, SDM dan TIK, dan Manajemen Kinerja, perpajakan, kepabeanan dan cukai; penganggaran; dan perbendaharaan. Jadi teks yang menjadi wacana dominan dalam proses reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan adalah tata kelola dan transformasi kelembagaan. Salah satunya adalah membangun sistem administrasi modern yang berbasis TIK sehingga layanan menjadi efisien, transparan dan akuntabel. Teks ini kemudian menjadi wacana dan institusi melalui pratik diskursif tertentu. MPN bahkan dibangun dengan niatan untuk menjadi tulang punggung reformasi birokrasi ā€œ ... Dengan disokong oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan, serta Sekretariat Jenderal, MPN menjadi sebuah program Kementerian Keuangan dan menjadi salah satu backbone reformasi birokrasi. ...ā€ DJPbn, tanpa tahun Tekad untuk menjadi backbone tersebut tentu saja harus didukung dengan strategi implementasi kebijakan yang memadai. Dalam pandangan penulis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana mengelola politik-institusional secara bijak. Pada tahapan selanjutnya, kedudukan MPN semakin diperkuat yang secara teknis dinyatakan POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dalam bentuk penambahan fitur baru seperti billing system dan tersedianya berbagai channel baru pembayaran ke kas negara melalui ATM, EDC , i-banking ataupun m-banking. Situasi yang sedemikian ini, merujuk proposisi yang diajukan Phillips, et al. 2004, menunjukkan bahwa salah satu cara untuk membentuk atau memperkuat institusi adalah bagaimana aktor memilih teks yang akan menjadi wacana dominan dan kemudian melalui praktik diskursif tertentu akan membentuk sebuah institusi. Kontrol-Institusional Institusi dan Kuasa-Sistemik Mengapa otoritas perpajakan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan istilah ā€œmonitoring pelaporan pembayaranā€ bukan ā€œpembayaran pajakā€? Jawabnya karena harus disadari sebenarnya tugas otoritas perpajakan adalah mengawasi apakah Wajib Pajak sudah melunasi pajaknya dengan menggunakan informasi transaksi penerimaan keuangan negara yang sah dengan bersumber dari otoritas perbendaharaan. Walaupun otoritas perpajakan menginginkan informasi pembayaran yang lebih cepat dan tepat waktu dengan memanfaatkan sistem berbasis TIK namun pada saat itu tidak dapat mengembangkan sistem itu sendiri. Pengembangan sistem pembayaran tersebut adalah wewenang pada sisi otoritas perbendaharaan. Otoritas pajak merupakan pengguna sistem informasi pembayaran elektronik yang dikembangkan oleh otoritas perbendaharaan. Walaupun kedua otoritas ini masih berada di bawah satu kementerian yang sama Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal, namun koordinasi untuk penyediaan informasi pembayaran pajak secara cepat dan andal masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Dalam pengembangan sistem MP3, otoritas perpajakan sampai dengan tingkat tertentu mengambil keputusan yang dapat dikatakan melampaui wewenangnya. Atas dasarnya inilah, dalam hemat penulis kemudian sistemnya diidentfikasi dengan ā€œmonitoring pelaporanā€, bukan secara tegas menyebut ā€œsistem penerimaan pajakā€. Jika politik diartikan sebagai bagaimana mencapai tujuan dengan cara yang memungkinkan, maka situasi ini merupakan fakta bahwa politics matter in institutional analysis yang ditemukan dalam konteks bagaimana sebuah institusi terbentuk dari tekanan kontrol-institutional yang bersifat politis/kuasa-sistemik. Namun situasinya menjadi berbeda jika dibandingkan dengan adanya peranan IMF yang meminta atau mungkin dapat dikatakan ā€œmemaksaā€, dengan menjadikan sistem ini sebagai bagian dari Letter of Intent Pemerintah RI untuk mewujudkan sistem pembayaran elektronik untuk mengadministrasikan pembayaran pajak sebagai langkah meminimalkan indikasi ā€œkebocoranā€ yang terjadi Brondolo, et al., 2008; Dwiputranto, 2008; Depkeu, 2009. Konteks yang ikut melengkapi dan perlu dipertimbangkan dalam situasi ini adalah bahwa saat itu otoritas perpajakan sedang membangun kantor pelayanan pajak yang khusus menangani wajib pajak besar dan termasuk di dalam rangkaian pembentukan itu adalah adanya fasilitas pembayaran secara online. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-383/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran Setoran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line dan Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Bentuk Digital. Dalam situasi yang demikian ini ternyata kontrol-institusional ā€œinternalā€ dilihat dari lingkungan organisasi Kementerian Keuangan kurang kuat memicu perubahan institusi. Sebaliknya, kuasa-sistemik disiplin, dominasidari institusi eksternal sebagai kontrol-institusional mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam mengubah perilaku aktor. Resistensi-institusional sebagai respon dari para aktor terhadap kontrol-institusional dapat saja berupa penolakan atau dukungan. Pelajaran penting dari situasi ini adalah bagaimana menciptakan resistensi-institusional yang sesuai dengan keinginan pemilik kontrol. Apakah yang diinginkan dari resistensi-institusional harus selalu dukungan? Dalam hemat penulis, belum tentu. Karena bisa saja pemilik kontrol-institusional masih menginginkan suatu institusi itu bertahan. Bagian dari politik-institusional adalah bagaimana menggunakan kontrol-instistusional untuk memengaruhi tindakan aktor untuk membuat atau menghapus institusi. Keagenan-Institusional Pengaruh dan Tekanan Aktor Terdapat sebuah fenomena menarik berkaitan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai SPNsE ini. Pada tahun 2003 otoritas perpajakan Indonesia mengajukan inisiatif pengembangan suatu sistem-aplikasi yang disebut sebagai Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3. Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak, mengajukan inisiatif sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 keputusan ini ā€œPembayaran Pajak dengan menggunakan SSP khusus dianggap telah masuk ke rekening Kas Negara apabila informasi pembayaran setoran pajak yang diterima dari Direktorat Informasi Perpajakan melalui Sistim Informasi Perpajakan atau Sistim Administrasi Perpajakan Terpadu telah sesuai dengan DNP/RDD yang diterima dari KPKN mitra kerja atau Kanwil/KPP Koordinator.ā€ Pengembangan dan implementasi sistem MP3 ini dalam kerangka kerja politik-institusional yang diajukan Lawrence 2008 dapat dipandang sebagai keagenan-institutional. Kebertindakan-agen untuk menghilangkan suatu institusi yang stabil sistem POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 administrasi pembayaran pajak saat itu masih manual, belum menggunakan mekanisme transaksi elektronik secara real time dengan institusi yang baru sebuah lingkungan sistem berbasis layanan elektronik sebagaimana dijelaskan oleh Darono, 2011. Demikian pula halnya DJA selaku otorisator PNBP sebagai aktor, implementasi MPN-G2 memungkinkan ekstensi fitur sistem-aplikasi Simponi-PNBP dengan mekanisme billing sebagaiman yang selama ini telah telah dikenal dalam sistem pembayaran di sektor komersial. Keberhasilan MPN menjadi sebuah institusi yang stabil dalam struktur pengelolaan keuangan negara sebagai dampak dari adanya kontrol-institusional tertentu pada gilirannya menimbulkan tindakan-agen untuk mengubah institusi yang telah ada tersebut menjadi lebih kompatibel dengan perubahan sosial. Pada setting situasi yang lain, ternyata kebijakan impelementasi sistem aplikasi MPN ternyata menjadikan bank persepsi bertindak dan menggunakan pengaruh mereka keagenan-instutitonal sebagai salah satu aktor dalam sistem penerimaan negara dengan menjadikan kemampuan mereka melakukan pertukaran data pembayaran tagihan pajak ataupun pada tahap berikutnya adalah penerimaan negara secara umum untuk memengaruhi institusi yang ada dalam pengaruh bank persepsi tersebut misalnya cara para nasabah melakukan pembayaran. Ambil contoh tanggapan dari salah satu bank yang terkait dengan hal ini, yang mengungkapkan implementasi MPN-G2 sebagai peluang bisnis baru ā€œ ... BRI akan kerahkan 19 ribu ATM, lebih dari 85 ribu EDC, dan lebih dari unit kerja BRI di seluruh Indonesia, BRI siap memberikan kemudahan dan beragam pilihan bagi WP, WB maupun WS untuk melakukan transaksi pembayarannya,ā€ ujarnya. ... ā€œ Sumber Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik juga merupakan keagenan-institusional yang membawa perubahan yang membawa kemudahan bagi pembayaran/penyetoran pajak. Kemudahan tersebut adalah 1 diizinkannya penggunaan EDC sebagai sarana pembayaran pajak, melengkapi yang selama ini telah ada; 2 Kode Billing dapat diperoleh secara host-to-host dari sistem milik pembayar/penyetor, dengan bank persepsi dan sekaligus dengan otoritas perpajakan. Hal ini secara eksplisit sudah ditawarkan sebagai bagian dari layanan cash management beberapa bank lihat misalnya publikasi/advertorial BRI tanpa Tahun; BNI tanpa tahun; dan juga Bank Mandiri tanpa tahun. Sepertinya untuk jenis pembayaran/penyetoran lain akan tiba waktunya dibuka layanan host-to-host dengan sistem-aplikasi SPNsE/MPN-G2. Sorotan highlight dari bahasan atas fakta penelitian di bagian ini adalah bahwa kerangka politik-institusional yang ditawarkan oleh Lawrence 2008 ternyata belum menjelaskan bagaimana keagenan-institusional melalui pengaruh/tekanan itu berjalan. Temuan penelitian ini mengungkapkan, bahwa kontrol-institusional itu malah dapat terwujud dengan adanya institutional entrepreneur, agen yang mampu bertindak untuk membuat atau mengubah institusi yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan situasi sosial-organisasional. Resistensi-Institusional Praktik-praktik Diskursif Aktor Bagian ini diawali dengan kembali merujuk kasus pembangunan sistem-aplikasi MP3 oleh otoritas perpajakan. Pertanyaannya, sekali lagi, adalah mengapa otoritas perbendaharaan pada waktu itu tidak segera merespon permintaan otoritas perpajakan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah sistem pengolahan pembayaran pajak secara real-time sehingga harus ada terlebih dulu sistem MP3, baru kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi MPN dan MPN-G2? Pada situasi inilah perlu diperhatikan adanya reaksi-aktor oleh Lawrence, 2008 disebut sebagai resistensi terhadap kontrol- ataupun keagenan- institutional yang diperlihatkan oleh masing-masing aktor. Fenomena ini sebenarnya adalah munculnya sebuah resistensi-institusional dari para aktor yang terlibat sebagai bentuk reaksi mereka terhadap kontrol ataupun tindakan yang harus mereka hadapi. Dalam satu situasi bisa saja langsung menolak ataupun sebaliknya langsung menerima. Mengapa implementasi sistem-aplikasi MP3, MPN, MPN-G2 mengalami berbagai dinamika yang berbeda-beda walaupun aktor dan institusinya relatif sama? Jawabannya, dalam hemat penulis adalah bentuk resistensi-institusional yang ada pada setiap tahapan implementasi tersebut berbeda-beda, bergantung merujuk Foucault dalam Jones, 2003 pada wacana yang mendominasi atau praktik-diskursif yang terjadi pada setiap situasi. Wacana yang mendominasi situasi otoritas perpajakan saat itu adalah tuntutan modernisasi layanan pajak lihat Brondolo, et al., 2008; Boediono, 2009 yang hal itu bahkan adalah bagian dari janji kepada pihak lain yang memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi dari deraan krisis ekonomi. Sementara itu, dalam hemat penulis rasa keterdesakan sense of urgencyyang sama belum ditemukan di sisi otoritas yang lain. Akibatnya, resistensi-institusionalnya akan berbeda. Namun demikian, resistensi-institusional ini belakangan dapat dikatakan berkurang drastis jika tidak dapat dikatakan telah hilang sama sekali. Situasi demikian ini dapat dilihat dari inisiatif untuk mengoneksikan bank persepsi dengan DJPb dan selanjutnya dengan DJP/DJA/DJBC dalam bentuk MPN bahkan kemudian menjadi SPNsE MPN-G2 dengan segala kampanye kepada publik tentang fitur unggulan dan kemanfaatannya menjadikan resistensi-institusional atas implementasi sistem ini seolah tidak POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pernah ada. Artinya, dalam pandangan penulis, hali ini menunjukkan bagaimana praktik diskursif para aktor untuk memilih teks, wacana, dan institusi menjadi penting dalam menghadapi resistensi-institusional. Catatan penulis pada bagian ini jika dihubungkan dengan bahasan pada temuan pada bagian sebelumnya adalah pentingnya pengguna konsep politik-institusional ini menerapkannya sebagai bentuk yang simultan. Tidak bisa seseorang melihat sebuah fenomena hanya sebagai kontrol-institusional atau keagenan-instituisonal saja. Namun, kajian harus dilakukan secara serentak bahwa kontrol akan menimbulkan resistensi yang dampaknya sampai pada tindakan keagenan. Selebihnya penulis setuju dengan apa yang ditawarkan Lawrence 2008, bahwa kajian institusional perlu mempertimbangkan aspek politik di dalamnya. Refleksi dan Rekomendasi Kebijakan Lawrence 2008 mengajukan konsepnya tentang bagaimana politik kuasa-wewenang seharusnya didudukkan dalam analisis institusional namun ternyata dia tidak menjelaskan lebih detil tentang 1 dari mana aktor mendapatkan ide/gagasan/tekad untuk menjalan resistensi-institusional untuk merespon kontrol-institusional ataupun keagenan-institusional?; 2 aktor manakah yang mampu paling mungkin melaksanakan keagenan-institusional? Jawabannya adalah 1 institutional logics; 2 institutional entrepreneurs. Penelitian ini sebagai hasil studi empiris ingin mengajukan rekomendasi kebijakan,yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan reformasi birokrasi secara umum ataupun secara khusus mereka yang memangku implementasi sistem informasi bebasis TIK untuk pengelolaan keuangan negara atau daerah. Rekomendasi ini sebenarnya semacam penerapan prinsip transferability kesimpulan sebuah studi kasus untuk dapat diterapkan transfered ke kasus situasi yang lain. Rekomendasi tersebut adalah 1 aspek teknis tetap merupakan syarat mutlak keberhasilan implementasi sistem berbasis TIK, hal ini menyangkut validitas data ataupun kinerja sistem misalnya waktu respon atau akses yang efisien; 2 aspek politik-insittusional untuk melihat bagaimana sistem yang dibangun ini jika diletakkan dalam konstelasi sistem yang telah ada existing system. Artinya memahami kontrol-institusional, keagenan-institusional dan resistensi-insitusional sebagai sebuah rangkaian yang utuh dari berbagai institusi yang ada merupakan modal penting kesuksesan implementasi sebuah sistem. Dalam kerangka konsepsual politik-institusional dan relasi wacana-institusi, dengan menggunakan teknik analisis wacana, sistem pembayaran merupakan adalah teks yang menjadi wacana dan kemudian menginstitusi. Teks itu menjadi institusi karena kedudukan aktor yang mampu menggunakan kuasa-episodik untuk menghilangkan institusi lama sistem pembayaran yang masih manual, yang sarat dengan pekerjaan klerikal dan menggantinya dengan institusi baru SPNsE. Bahkan, lebih dari itu institusi baru yang dibentuk tersebut mampu memengaruhi para aktor yang terlibat di dalamnya dan juga mampu menarik aktor baru melalui kuasa-sistemiknya. 6. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan dengan menggunakan teknik IPA yang telah dilakukan di atas, kesimpulan sekaligus lesson-learned dari kasus yang dianalisis ini adalah 1 kontrol-institusional dapat mengakselerasi muncul SPNsE sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauan-kuasa sang aktor. Namun pantas dicatat, pada situasi yang lain keagenan-institusional relatif berhasil mentransformasikan institusi yang berada di dalam jangkauan-kuasa aktor. Apa yang membedakan situasi tersebut? Resistensi-institusional, yaitu bagaimana aktor merespon disiplin/dominasi yang datang kepada mereka dan kemudian bagaimana mereka mengubahnya menjadi pengaruh/tekanan terhadap institusi yang ada, apakah mereka hendak menghapus dan membuat institusi baru atau mengubah institusi yang sudah ada. Dari sisi metodologi penelitian, tulisan ini dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ditawarkan Lawrence 2008 berusaha memberikan alternatif sudut pandang untuk memahami bagaimana saling-pengaruh interplay aspek-aspek politik-institusional dalam proses pengembangan dan implementasi suatu sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Kerangka pemikiran tersebut dapat digunakan dengan beberapa catatan bahwa peneliti harus jeli dalam menangkap fenomena yang muncul untuk kemudian menetapkan dari titik mana ia akan memulai analisisnya. Dalam pandangan penulis, kerangka kerja ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti di bidang TIK-organisasi khususnya di Indonesia untuk melengkapi berbagai kerangka pemikiran yang selama ini telah digunakan, terutama pada saat penelitian yang menggunakan pendekatan non-positivitik dengan tujuan memahami implementasi TIK sebagai artefak sosio-teknikal. DAFTAR PUSTAKA Avgerou, Chrisanthi. 2000,"IT and Organizational Change an Institutionalist Perspective." Information Technology and People, 134, pp. 234 - 62. Avgerou, Chrisanthi. 2004, "IT as an Institutional Actor in Developing Countries," S. Krishna dan S. Madon, The Digital Challenge Information Technology in the Development Context. Aldershot, UK Ashgate Publishing, 46-62 BankMandiri. tanpa tahun, "Dorong Peningkatan Penerimaan Pajak, Mandiri Edukasi Perusahaan," URL POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Berntsen, Kirsti E.; Sampson, Jennifer dan Ƙsterlie, Thomas. 2004, "Interpretive research methods in computer science," URL BNI. tanpa tahun, "SEKILAS CASH MANAGEMENT," URL Boediono. 2009, "Kebijakan Fiskal Sekarang dan Selanjutnya," A. Abimanyu dan A. Megantara, New Era of Fiscal Policy Pemikiran, Konsep dan Aplikasi. Jakarta Penerbit Buku Kompas Bondarouk, Tatyana dan Ruel, Huub. 2004, "Discourse analysis making complex methodology simple.". The European IS Profession in the Global Networking Environment. Turku School of Economics and Business Administration, Turku, Finland. , 2004 Bowen, Glenn A. 2009,"Document Analysis as a Qualitative Research Method." Qualitative Research Journal, 92, pp. 27-40. BRI. tanpa tahun, "Cash Management System BRI," URL Brondolo, John; Silvani, Carlos; Borgne, Eric Le dan Bosch, Frank. 2008, "Tax Administration Reform and Fiscal Adjustment The Case of Indonesia 2001-07," IMF Working Paper Washington, Fiscal Affairs Department - International Monetary Fund, 2008 Bungin, Burhan. 2012, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta Kencana Predana Media Group Carls, Paul. tanpatahun, "Ɖmile Durkheim 1858—1917," The Internet Encyclopedia of Philosophy, URL Cole, D. H. 2013,"The Varieties of Comparative Institutional Analysis." Wisconsin Law Review, 2013, pp. 383-409. Currie, Wendy. 2008, "Institutionalization of IT Compliance A Longitudinal Study". International Conference on Information System ICIS. 2008 Darono, Agung. 2011, "Modul Penerimaan Negara Tinjauan terhadap Fungsinya sebagai Layanan Elektronis". The Conference on Information Technology and Electrical Engineering CITEE 2011. Electrical Engineering and Information Technology Department, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2011 Darono, Agung. 2012, "Tinjauan Interpretatif terhadap Aspek-Aspek Institusional dalam Implementasi Layanan Elektronik Studi Kasus PT. XYZ," Magister Teknolog Informasi. Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Darono, Agung. 2013a, "Paradigma Kritis dalam Penelitian Sistem Informasi di Indonesia Perlukah?". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta, 2013a Darono, Agung. 2013b, "Public Sector Innovation through e-Services The Case of Indonesian Tax Administration ". International Conference on Indonesia Development. The Hague, The Netherlands PPI Belanda, 2013b Darono, Agung. 2014, "Kajian Ekonomi-Politik Informasi di Indonesia Pentingkah?". Doctoral Colloquium and Conference. Faculty of Economics and Business - University of Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014 Darono, Agung. 2015,"Fiscal Management in Indonesia The Perspective of Political-Economy Information." Journal of Applied Indonesian Economics, 61, pp. 87-101. Depkeu. 2009, "ā€œMenata Keuangan Negara Melalui Reformasi Birokrasiā€ Laporan Kinerja Departemen Keuangan 2004-2009," D. Keuangan, Jakarta, 2009 DiMaggio, Paul J. dan Powell, Walter W. 1991,"The Iron Cage Revisited Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields." American Sociological Review, 482, pp. 147-60. Djamhuri, Ali. 2011, "Paradigma dan Riset Akuntansi Interpretif," Accounting Research Training Series 2 Malang - East Java Faculty of Economics and Business - University of Brawijaya, 2011 DJPbn. 2014, "Direktur PKN Seluruh Penerimaan Negara Harus Disetorkan Melalui Bank/Pos Persepsi Dengan Menggunakan MPN," Jakarta Direktorat Jenderal Perbendaharaan DJPbn, URL DJPbn. tanpatahun, "Modul Penerimaan Negara MPN," Jakarta DJPbn, URL Dwiputranto, Antonius Danang. 2008, "State Revenue Module MPN as e-Government Implementation Its Impact towards Taxpayers' Services in Bahasa Indonesia," Department of Administration, Faculty of Social and Politic Sciences. Jakarta University of Indonesia, 2008 Eriyanto. 2011, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta LKiS Ezer, Jonathan Frederick. 2005, "The Interplay of Institutional Forces Behind Higher ICT Education in India," Department of Information Systems. Londo London School of Economics and Political Science, 2005 Glynos, Jason; Howarth, David; Norval, Aletta dan Speed, Ewen. 2009, "Discourse Analysis Varieties and Methods," ESRC National Centre for Research Methods Review, 2009 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Hardy, Cynthia. 2001,"Researching organizational discourse." International Studies of Management & Organization, 313, pp. 25-47. Howcroft, Debra dan Trauth, Eileen M. 2004, "The Choice of Critical Information Systems Research," B. Kaplan, D. P. T. III, D. Wastell, A. T. Wood-Harper dan J. I. DeGross, Information Systems Research Relevant Theory and Informed Practice. Springer IMF. 2003, "Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding," International Monetary Fund IMF, URL Jones, Pip. 2003, Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia Kemenkeu. 2015, "Frequently Asked Questions - Transformasi Kelembagaan," Jakarta Kementerian Keuangan Kemenkeu, URL Kling, Rob. 1999,"What is Social Informatics and Why Does it Matter?" D-Lib Magazine, 51. Kling, Rob; Rosenbaum, Howard dan Sawyer, Steve. 2005, Understanding and Communicating Social Informatics A Framework for Studying and Teaching the Human Contexts of Information and Communication Technologies. Medford, New Jersey Information Today Koentjaraningrat. 1983, Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta Gramedia Larsen, Allen, G.; Vance, A. dan Eargle, D. 2014, "Theories Used in IS Research," URL Lawrence, Thomas B. 2008, "Power, Institutions and Organizations," R. Greenwood, C. Oliver, R. Suddaby dan K. Sahlin, The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism, . London SAGE Publications Ltd, 170-98 Masdi, Arief. 2012, "Pembangunan SIMPONI Sistem Informasi PNBP Online," Warta Anggaran. Jakarta Direktorat Jenderal Anggaran, 2012 McLeod, Raymond dan Schell, George P. 2001, Management information systems. Englewoods Cliff Prentice Hall Meyer, John W. dan Rowan, Brian. 1977,"Institutionalized Organizations Formal Structure as Myth and Ceremony." American Journal of Sociology, 832, pp. 340-63. Moleong, Lexy J. 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja Rosdakarya Myers, 1997,"Qualitative Research in Information Systems." MIS Quarterly 212, June 1997, pp. 241-242. MISQ Discovery, archival version, 212 June 1997, pp. 241-42. Myers, Michael D. dan Klein, Heinz K. 2011,"SET OF PRINCIPLES FOR CONDUCTING CRITICAL RESEARCH IN INFORMATION SYSTEMS." MIS Quarterly, 35 1, March 2011, pp. 17 - 36. Nasution, Anwar. 2007, "Sambutan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan, 2007 Parker, Ian. 1992,"Discourse dynamics Critical analysis for social and individual psychology." Phillips, Nelson; Lawrence, Thomas B. dan Hardy, Cynthia. 2004,"Discourse and Institutions." The Academy of Management Review, 294; Oct. 2004, pp. 635-52. Riawanti, Selly. 2015, "Metode Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial," Bandung Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, URL Scott, W. Richard. 2004, "Institutional Theory Contributing to a Theoritical Research Program," K. G. Smith dan M. A. Hitt, Great Minds in Management The Process of Theory Development. Oxford University Press, Sunarto, Kamanto. 2004, Pengantar Sosiologi. Jakarta Lembaga Penerbit Universitas Indonesia Thornton, P. H. dan Ocasio, W. 2008, " Institutional Logics," C. O. Royston Greenwood, Roy Suddaby, Kerstin Sahlin-Andersson, The Sage Handbook of Organizational Institutionalism. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore Sage Publications, 99-129 Wahid, Fathul. 2011, "Explaining Failure of e-Government Implementation in Developing Countries a Phenomenological Perspective". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi SNATI 2011. Universita Islam Indonesia, Yogyakarta, 2011 Wahid, Fathul dan Sein, Maung K. 2013,"Institutional entrepreneurs The driving force in institutionalization of public systems in developing countries." Transforming Government People, Process and Policy, 71. Wahyuni. 2012, "studi eksploratori keselarasan strategi teknologi informasi dan strategi bisnis," S3 Manajemen UGM Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Walsham, Geoff. 1993, Interpreting information systems in organizations. London John Wiley and Sons Walsham, Geoff. 2006,"Doing interpretive research." European Journal of Information Systems 2006 15, 320–330, 15, pp. 320-30. Weir, Margaret. 2003, "Institutional Politics and Multi-Dimensional Actors Organized Labor and America’s Urban Problem," Crafting and Operating Institutions Conference. Yale University April 11-13, 2003, 2003 Worldbank. 2002, "The E-Government Handbook For Developing Countries," Washington Center for Democracy and Technology - World Bank, 2002 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Yin, Robert K. 1981,"The Case Study Crisis Some Answers." Administrative Science Quarterly, 261, pp. 58-65. Yin, Robert K. 2009, Case study research Design and methods 4th ed.. Thousand Oaks, CA Sage Yin, Robert K. 2011, Qualitative Research from Start to Finish. New York THE GUILFORD PRESS Yustika, Ahmad Erani. 2010, "Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional," Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Agung DaronoThis research aims to determine what institutional aspects may influence the organization to implement electronic services. This research used a qualitative-interpretive research method with a single case study research strategy. The findings of this research were 1 the type of institutional pressures normative/mimetic/coercive that surround the organization and the business impact of these pressures determines the response/action of organization isomorphism; 2 the organization uses its institutional logic to perform isomorphism, and the result was the decision to develop an electronic service as one of the steps to face existing institutional pressures. This research also proposed a framework which is expected to be used by an organization to identify the institutional aspects related to the implementation of electronic services as a mechanism to respond to these pressures by appropriate isomorphism action. Agung DaronoAs the State Treasurer, the Minister of Finance has the authority to determine the State Cash Receipt and Disbursement System. In this regard, the Minister of Finance has developed a State Revenue Module MPN as a revenue module which contains a series of procedures, from receipt, deposit, data collection, recording, and summarizing to reporting related to state revenue. From the viewpoint of the informatics discipline, MPN is a form of electronic service. This paper aims to analyze the function of MPN as an electronic service. This research is descriptive by describing what MPN is and analyzing it with several propositions related to electronic services. This study concludes that as an electronic service, MPN has several aspects whose performance can still be improved. One of these efforts is to complement MPN with a formal Service Level Agreement SLA between service providers and users. It is intended that all parties related to MPN services can have the same standard reference regarding the services provided. Apart from that, e-banking services in MPN should also be revitalized, so MPN users will increasingly utilize this facility. For this reason, it is necessary to think about incentive-disincentive strategies as the banking industry has succeeded in placing ATMs/e-banking as an alternative service that is increasingly in demand besides conventional services through bank tellers. Agung DaronoFiscal management is an effort to formulate fiscal policies to be implemented, controlled, and responsible based on the government regulation. For this purpose, fiscal authority undoubtedly needs an adequate support from the state’s financial information. The provision of information for the sake of this fiscal management cannot only be seen as an issue of economic information which tends to emphasize on the process of information allocation, production, distribution, and consumption as an economic commodity. Using political-economy information of conceptual framework, the information provision in the context of fiscal management is more of a constellation of various existing economic-information that should be correlated with the involved actors, and comprehensively take into account the surrounding social-political structure. By employing an interpretive policy analysis as the data analysis approach, this study finds that fiscal authority in Indonesia has gradually made a number of efforts to improve the mechanism of the nation’s financial information provision for those who have fiscal management interests, either from income information tax/non-tax or expenditure information. In some conditions, it is identified that the initiative of information provision for the advantage of fiscal management as well as its implementation requires proper political support. Fathul WahidThe empirical evidence indicates that most e-government implementation in developing countries suffer from either total or partial failure. Drawn upon the concepts offered by phenomenology and taking into account the design reality gaps and e-government dimensions proposed by Heeks 2003, this paper attempts to seek a fresh explanation of the phenomenon of e-government failure. Phenomenology as a theory, along with hermeneutics, offers a clear explanation on why e-government implementation fails. A better understanding of this phenomenon is expected to be useful to increase the chance of success and at the same time to reduce the risk of e-government failure. Agung DaronoThe use of information and communication technology ICT as contemporary social-, government-, or business- constellation requires more comprehensive analysis tools, broader than "just" technical-technological point of view. This study bring up a proposition that political-economy of information perspective can be deployed as a conceptual framework in order to simultaneously seek and reveal how economic aspects of a political-information constructs as well as political aspects of an economic-information constructs interplay each other, and in turn provide deeper understanding towards role and position of information as part of a social, public policy, or business constellation. By using secondary data gathered through documentation study, this proposed conceptual framework combined with critical discourse analysis then deployed to carry out a multiple cases study analysis to unwrap how do banking sector, public finance management, and telecommunications business utilize their information Agung DaronoPenelitian sistem informasi SI memerlukan skala yang lebih luas dari ā€œsekedarā€ bagaimana menciptakan artefak-SI yang lebih mutakhir. Artefak-SI pada akhirnya menjadi bagian dari interaksi sosial. Jadi, penelitian SI perlu melibatkan perspektif struktural, hubungan antar-manusia, aspek institusional dan bahkan politik-antar-kelas. Untuk itu, penelitian SI dapat mempertimbangkan untuk menggunakan paradigma kritis critical information systems research. Paradigma penelitian adalah asumsi-asumsi dasar tentang apa menjadikan sebuah penelitian itu, ā€œsahā€. Paradigma kritis akan melihat artefak SI dari sudut pandang yang berbeda dengan paradigma positivis. Berbagai artefak-SI yang selama ini dilihat dari kacamata teknis-SI implementasi ERP atau keamanan basisdata misalnya, dapat ditelaah lebih dalam dengan menggunakan perspektif kritis seperti dominasi dan politik-antar-kelas, kekuasaan dan penguasaan, pembebasan, pemberdayaan, emansipasi, ataupun demokratisasi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat area penelitian SI di Indonesia yang memungkinkan penggunaan paradigma kritis ini. Harapannya, penelitian SI di Indonesia tidak hanya memandang praktik/artefak-SI sisi positivis saja, sehingga akan mendapatkan hasil penelitian dengan sudut pandang yang berbeda. Agung DaronoProviding simple, affordable and fast public services is a necessity in public administration, especially in tax administration. To simplify tax administration process, tax authority in Indonesia has initiated several types of service innovations. The main part of these innovative measures is based on electronic services e-services. These tax e-services include e-registration, e-payment and e-filing. They were introduced around mid-2002 in conjunction with organisational transformation initiative of the Directorate General of Taxes DGT as Indonesia’s tax authority. The purpose of this study is to unveil why and how the initiative of service innovation development based on e-services has taken place from the beginning until today’s recent implementation. This research deploys qualitative-interpretive method based on tax policies review. This paper uses institutional theory with discourse analysis as data analysis technique. The results of this study reveal that there are institutional pressures that affect the tax authority to start and provide service innovation through e-services. In the perspective of institutional pressures, the initiative brought by DGT to establish innovative services based on e-services basically came from their internal-normative pressures. But, such internal-normative pressures is not powerfull enough. Consequently, the e-services based e-payment initiatives could not be implemented because of legal provisions that are out of the tax authority hands. The initiatives gain its momentum for the DGT when normative pressure turns into coercive pressure. This change of pressures occurred at the time when the Government of Indonesia signed a memorandum with the International Monetary Fund IMF, in which one point in the agreement was to develop a real-time/on-line tax payment system that would integrate the banking institution as a point of payment, the treasury authority and the tax authority. This momentum was even then used by the tax authority to expand the types of those e-services, including e-registration and e-filing. Furthermore, results from these initiatives still run to this day. Even, there are some additional features built to simplify the whole tax administration systems. Finally, this case reveals how to utilize and manage the various institutional pressures surround an organisation and then to support service innovations initiative to improve organisational HardyIn recent years, the body of theory on organizational discourse has grown significantly, helping to form a specific field of study and also contributing to broader organization and management theory. During this time, empirical work using discourse analysis has also increased, as organizational researchers have drawn on methods established in other domains of study to examine organizations. However, the study of organizational discourse is not without difficulties, especially for researchers wishing to conduct empirical studies. This article identifies four particular challenges for empirical researchers and then describes how an ongoing program of organizational research using discourse analysis has attempted to address them. It also highlights some of the important contributions that empirical studies of organizational discourse can offer toward the understanding of organizational While institutional theory is used widely in the information system IS literature to study implementation of systems, the actual process of institutionalization has received less attention. The purpose of this paper is to address this gap in the literature by using three concepts drawn from the theory, namely, institutional isomorphism, institutional logic and institutional entrepreneurship, and the interplay between them to explore the role of the dominant institutional entrepreneur in the institutionalization of a public system, as an instance of e‐government initiatives. Design/methodology/approach In an interpretive case study, this study examined the institutionalization process of an e‐procurement system over a four‐year period 2007‐2011 in the Indonesian city of Yogyakarta. Findings This study reveals that different institutional isomorphism mechanisms emerge during the process and institutional logics evolve over time. More interestingly, it uncovers the dominant role of an institutional entrepreneur, the city's mayor, who mobilized resources and support to drive the institutionalization process. At the beginning stage, institutionalization is best described as a process of instilling values, cultivated by the mayor, followed by a process of creating reality through a typification process, whereby the e‐procurement system is embedded in the existing practices and institutionalized. Research limitations/implications As an interpretive study, the findings are generalized to theoretical concepts rather than the population. The interrelationship between the three concepts of institutional theory represents plausible rather than deterministic links. It also offers practical insights, such as e‐procurement implementation strategy. Originality/value This paper goes beyond simply using institutional theory as an interpretive lens by examining the interrelationship between the mechanisms of institutionalization. It shows that the main catalyst of the institutionalization process is the institutional entrepreneur who managed the institutional isomorphism and was instrumental in changing the institutional logic. It also presents lessons from a successful case where corrupt practices were highly institutionalized at the beginning but were decreased through the system. TANTANGANSISTEM KEUANGAN ISLAM SEBAGAI ALTERNATIF SISTEM KEUANGAN GLOBAL Oleh : Nur Chamid1 Abstrak Dalam sejarah ekonomi dunia, ternyata krisis sering terjadi di mana-mana dan melanda hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy (ekonomi berbasis sektor moneter atau
Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN DAN POLITIK DI INDONESIA PAPER OLEH MANIK SUKOCO NIM 106811400216 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditingkatkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mendalami tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia salah satu hal yang penting adalah memahami sistem politik dan pemerintahan. Berangkat dari situlah kita sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban untuk tetap menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan diharuskan memahami sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Melalui pemahaman tersebut diharapkan memberikan kesadaran bagi kita agar Indonesia menghindari sistem pemerintahan otoriter yang memasung hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. BAB II SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN A. Pengertian sistem politik dan Sistem pemerintahan 1. Pengertian Sistem Politik Istilah sistem politik berasal dari kata sistem dan politik. Sistem merupakan rangkaian dari beberapa komponen dimana tiap komponen antara yang satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan. Tidak berfungsinya satu komponen dalam sistem tersebut akan mengganggu jalannya sistem tersebut. Untari 2006 mengemukakan sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Contoh pemerintahan berdasar sistem konstitusional. Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional Alhaj, 2000 89. Apabila satu komponen pemerintahan tidak berfungsi, artinya melanggar konstitusi maka akan terjadi tidak berfungsinya fungsi pengendali pemerintahan itu sendiri Istilah ā€politikā€ secara konseptual dapat diartikan sebagai 1 suatu usaha yang ditempuh warga negara dalam upaya untuk mampu mewujudkan kebaikan bersama, 2 segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan; 3 sesuatu aktivitas yang mengarah pada upaya mempertahankan kekuasaan, 4 konflik dalam usaha mempertahankan sesuatu yang dianggap penting Ramlan dalam Laboratorium Pancasila, 2001. Jacobsen dan Lipman dalam Sukarna 1979 mengemukakan bahwa ā€politicsā€ diberi arti ā€the art and science of govermentā€ artinya seni dan ilmu pemerintahan Selanjutnya dijelaskan ā€œpolitical science is the science of the state. It deals with 1. the relations of individuals to one another in so far as the state regulates them by law; hubungan antara individu dengan individu satu sama lain, yang diatur oleh negara dengan undang-undang 2. the relations of individuals or groups of individuals to the state;hubungan antara individu-individu atau kelompok orang-orang dengan negara 3. the relations of state to state.hubungan antara negara dengan negaraā€ Simpson dalam Sukarna 1979 mengemukakan ilmu politik bertalian dengan bentuk-bentuk kekuasaan, cara memperoleh kekuasaan, studi tentang lembaga-lembaga kekuasaan dan perbandingan sistem kekuasaan yang berbeda.. Oleh karena ā€œsistem politikā€ bertalian dengan 1.sistem pemerintahan the sistem of goverment; 2. Sistem kekuasaan untuk mengatur hubungan individu atau kelompok indidividu satu sama lain atau dengan negara dan antara negara dengan negara the sistem of power to regulate the relations of individuals oro groups of individuals vis a vis and to the state and the relations state to state Politik hal-hal berhubungan dengan kekuasaan dan kewenangan. Politik secara konseptual dapat diartikan sebagai 1 suatu usaha yang ditempuh warga negara dalam upaya untuk mampu mewujudkan kebaikan bersama, 2 segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan, 3 sesuatu aktivitas yang mengarah pada upaya mempertahankan kekuasaan, 4 konflik dalam usaha mempertahankan sesuatu yang dianggap penting Ramlan dalam Laboratorium Pancasila, 2001233 Dalam makalahnya Untari 2006 menyebutkan banyak pengertian sistem politik yang dikemukakan oleh para pakar antara lain, 1. Perlmutter, menyatakan bahwa sistem politik adalah lingkungan sosio-ekonomi penyelenggara kekuasaan dan organisasi yang beroperasi di dalamnya serta gejala-gejala yang memberi pengaruh terhadap kekuasaan 2. Gabriel Almond 1960 menjelaskan bahwa sistem politik merupakan organisasi melalui mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Selanjutnya Almond juga menjelaskan sistem politik sebagai sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. 3 RA. Dahl 1978 mengartikan sistem politik sebagai pola yang langgeng dari hubungan sosial yang di dalamnya mencakup kontrol, pengaruh dan kekuasaan/otoritas. Sistem politik sebagai mekanisme seperangkat fungsi/peranan dalam struktur politik dalam hubungan dengan lainnya yang menunjukkan proses yang langgeng. 4 Wayo 1990 menyatakan sistem politik merupakan sistem sosial yang menjalankan alokasi nilai berupa keputusan atau kebijakan politik, alokasinya bersifat otoritatif artinya melibatkan kekuasaan yang sah dan mengikat seluruh rakyat. 5. Kantaprawira 2006 mengemukakan sistem politik sama seperti kehidupan lainnya, mempunyai kekhasan integrasi, keteraturan, keutuhan, organisasi, koherensi, keterhubungan dan ketergantungan bagain-bagainnya. 6. David Easton dalam Kantaprawira, 2006 mengemukakan, sistem politik merupakan seperangkat interaksi yang diabstraksi dari totalitas perilaku sosial, melalui mana nilai-nilai disebarkan untuk suatu masyarakat. Dari pendapat tersebut di atas, terlihatlah bahwa walaupun antara kehidupan politik dan sistem politik terdapat kemiripan rumusan, tetapi tetap tampak bahwa pengertian kehidupan politik lebih sempit, dalam arti lebih bersifat riil daripada sistem politik yang diabstraksikan dari totalitas perilaku masyarakat. Dengan perkataan lain, sistem politik mencakup pula kehidupan politik. Dengan demikian secara konseptual bahwa sistem politik ialah, prinsip-prinsip dan mekanisme yang membentuk suatu kesatuan yang berkaitan, utuh dan saling berhubungan untuk mengatur pemerintahan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain dengan negara dan hubungan negara dengan negara. 2. Sistem Pemerintahan Sistem pemerintahan terdiri dari kata, ā€sistemā€ dan ā€pemerintahanā€. Suatu sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan ha-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh Untari, 2006 Menurut Mas’ud 1989 sistem menunjukkan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhinya maupun dipengaruhinya. Sedangkan kata ā€pemerintahanā€ berasal dari kata dasar ā€pemerintahā€, yang menunjukkan tindakan yang harus dilakukan. Menurut Strong dalam Adisubrata 2002, yang dimaksud pemerintah adalah lembaga atau organisasi yang melekat kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan negara. Juga merupakan lembaga yang memiliki tanggung jawab guna melaksanakan keamanan dari ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Pemerintahan adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dalam arti Finer dalam Adisubrata 2002 istilah pemerintahan paling tidak memiliki empat hal, yaitu a. Menunjukkan kegiatan atau proses memerintah, yang melaksanakan pengawasan atas pihak atau lembaga lain; b. Menunjukkan permasalahan-permasalahan negara atau proses memilih terhadap masalah-masalah yang dijumpai; c. menunjukkan pejabat-pejabat yang dibebani tugas-tugas memerintah; d. Menunjukkan cara-cara atau metode atau sistem yang digunakan untuk mengatur masyarakat Dengan demikian konsep pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti luas dan sempit. Pemerintah dalam arti luas adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta kepolisian dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan dalam arti sempit adalah kegiatan-kegiatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif guna mencapai tujuan pemerintahan Adisubrata, 2002 78. . Secara umum pengertian sistem pemerintahan terkait dengan sistem politik, mengingat sistem politik berkaitan a sistem pemerintahan b sistem kekuasaan yang mengatur hubungan antara individu-individu atau kelompok-kelompok individu satu dengan lainnya dan dengan negara serta hubungan negara dengan negara. Sejalan dengan itu Wahyu 2008 mengemukakan bahwa sistem pemerintahan adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh dari pemerintahan, sedangkan komponen-komponen itu adalah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing komponen tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ada beberapa pendapat terkait dengan pengertian sistem pemerintahan, antara lain dikemukakan oleh a. Sri Sumantri, sistem pemerintahan adalah bagi negara yang menganut ajaran Tri Praja, suatu perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ legislatif, eksekutif dan yudikatif yang dengan bekerjasama hendak mencapai maksud dan tujuan. b. Ismail Suny mengemukakan sistem pemerintahan adalah suatu sistem tertentu yang menjelaskan bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan negara. c. Martadisastra memberikan pengertian sistem pemerintahan adalah hubungan antara organ-organ pemerintah eksekutif dengan alat perlengkapan negara-negara lainnya yang ada/menjalankan fungsinya di dalam suatu negara. Dengan demikian sistem pemerintahan dalam arti luas merupakan suatu kesatuan utuh dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan wewenang badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan dalam arti sempit merupakan suatu kesatuan utuh dalam menjalankan pemerintahan oleh badan eksekutif untuk mencapai tujuan pemerintahan.. B. Tipe-tipe, fungsi sistem politik dan pemerintahan. 1. Tipe sistem politik Kajian tentang sistem politik lebih bermakna secara teoritis, sebab tidak satupun sistem politik suatu negara yang benar-benar sama dengan sistem politik negara lain. Secara teoritik ada beberapa tipe sistem politik yang dikemukakan oleh Harold Crouh dalam Untari 2006 sebagai berikut a. Menurut Shils Shils membicarakan empat sistem politik yang sedang menjalankan modernisasi, yakni 1 Political Democracy. Demokrasi bersifat pemerintahan sipil, adanya lembaga representative dan adanya kebebasan umum public liberties. Menurut Shils, ciri-ciri demokrasi 1 adanya dewan perwakilan yang dipilih oleh rakyat, 2 terdapat lebih dari satu partai politik yang bersaing, 3 pers dan organisasi lain memiliki kekebebasan berbicara/mengeluarkan pendapat, 4 adanya kehakiman yang bebas, 5 rule of law ditegakkan. Selanjutnya Shils mengemukakan sistem politik demokrasi hanya mungkin dalam ā€political societyā€, yang coraknya 1 perasaan nasionalisme yang kuat, 2 perhatian politik masyarakat yang cukup besar, 3 pengakuan sistem yang legitimate, 4 pengakuan hak-hak individu, 5 konsensus tentang nilai-nilai. Menurut Shils belum ada negara satupun yang memenuhi syarat ini, walaupun negara maju sekalipun. Negar-negara barat baru mendekatai syarat ini. 2 Tutelary Democracy Dalam sistem ini ditandai antara lain 1 adanya lembaga perwakilan, 2 kebebasan berbicara, 3 rule of law ada tetapi agak lemah, 4 Partai dan pers yang bebas diperkenankan, namun ada Undang-Undang yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengerem kritik-kritik yang tajam. Ciri khas tutelery democracy adalah 1 kestabilannya yang tidak dimiliki oleh political democracy., 2 hak-hak oposisi ada tetapi dibatasi; 3 tutelary democracy memerlukan suatu administrasi yang baik.; 4 organisasi penyaluran aspirasi belum berkembang; 5 civil order dibutuhkan yakni masyarakat yang menghormati hukum dan tidak menyukai kegiatan revolusioner. 3 Modernising Oligarcy Sistem politik ini terjadi manakala demokrasi gagal dilaksanakan, karena ada jurang antara elit politik yang menginginkan modernisasi dengan rakyat tradisional. Modernising oligarchy membutuhkan persyaratan 1 pemerintah membutuhkan prestasi yang lebih besar daripada demokrasi untuk meyakinkan rakyat, bahwa sistem oligarki perlu; 2 oposisi harus ditekan, 3 dalam administrasi negara korupsi harus dihapuskan untuk membuktikan bahwa sistem ini lebih baik dari pada demokrasi, 4 lembaga penyalur pendapat umum belum berkembang, 5 ideologi negara harus diciptakan dan didalangi oleh pemerintah dan menjadi pegangan rakyat. Seiring sistem ini dijalankan oleh pemerintahan militer yang kurang sanggup dalam administrasi sipil dan urusan ekonomi, karena itu Shils tidak yakin apakah sistem ini dapat berhasil atau tidak. 4 Totalitarian Oligarcy Tipe keempat dari sistem politik adalah totaliterianism, dimana golongan elit memiliki kekuatan lebih jauh dari golongan lain. Tidak ada oposisi, tidak ada dewan perwakilan yang bebas, tidak ada pendapat umum, siapa yang melawan pemerintah dipenjarakan. Menurut Shils negara Asia-Afrika mungkin akan banyak mempraktekkan sistem ini, karena pemerintahan totaliter dianggap efisien, seperti di Burma, Vietnam Utara, Cina, Afrika Selatan, Kongo, dsb. 5 Tradisional Oligarcy Tipe sistem politik ini merupakan sistem tradisional yang dipimpin oleh raja atau ningrat. Sistem ini tidak menghendaki modernisasi, sehingga saat ini jarang diketemukan. b. Menurut Organsky Organsky menerangkan bagaimana sistem politik berubah, sebab corak atau tipe pemerintahan tergantung dari masalah yang dihadapinya, sedangkan perkembangan politik terbagi dari beberapa tahap. Menurut Organsky ada tiga sistem politik, yaitu 1 Sistem Borjuis Sistem ini mula-mula berkembang di Inggris abad 19 dan meluas ke Eropa Barat. Menurut Karl Marx pada abad 19 parlemen Inggris didominasi pemimpin Borjuis. Rakyat tidak diwakili dan sistem demokrasi tidak dijalankan. Makin banyak pabrik, industri makin banyak kaum Borjuis kaum pengusaha, akibatnya kaum Borjuis menuntut kekuasaan dan secara otomatis berpengaruh terhadap pemerintahan, maka terjadilah pergeseran kekuasaan dari ningrat ke kaum Borjuis. Dalam sistem politik Borjuis kaum miskin dan buruh dijauhkan dari pemerintahan. Kaum buruh dan petani sangat sengsara, karena diperas tenaganya dan jaminan kesejahteraan kurang sekali, tidak ada serikat pekerja di pabrik-pabrik, tidak ada wadah untuk memperjuangkan. Walaupun pada awalnya berkembang di Inggris, namun Belandapun terpengaruh sistem itu, karena Belada sebagai negara penjajah di Indonesia juga menerapkan sistem itu. Hal ini bisa dilihat ketika banyak kaum buruh dan petani dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda, termasuk pengiriman ke Suriname. 2 Sistem Stalinis Sistem politik ini dikembangkan di negara-negara Komunis. Sistem ini muncul kalau ada golongan modern kuat versus golongan elit tradisional yang umumnya tidak mau menerima modernisasi dan industrialisasi. Elit tradisional tidak mau memberi konsesi, sedangkan golongan elit modern menganggap industrialisasi sesuatu yang mendesak dan tidak dapat ditunda, namun golongan ini tidak cukup kuat untuk melakukan resolusi, jika dapat melakukan pemerontakan mereka akan menggulingkan pemerintahan ningrat. Pada awalnya pemerimtahan ini didukung oleh buruh dan petani, namun karena kepentingan industrialisasi pemerintah stalinis akhirnya juga menindas golongan miskin. Kalau perlu petani dipindahkan ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik. Ini berbeda dengan sistem Borjuis, dimana petani dilindungi dan didorong masuk ke pabrik. Sedangkan sistem politik stalinis petani dipaksakan meninggalkan tanahnya dan masuk pabrik oleh karena proses modernisasi dan industrialisasi di sistem stalinis lebih ketat/keras, lebih tajam dari lebih kejam. 3 Sistem Sinkratik. Sistem sinkratik muncul sebagai pengganti sistem Borjuis. Ketika industrialisasi berkembang muncul golongan buruh yang lebih kuat dan terorganisir secara teratur. Sementara kaum Borjuis dan kaum ningrat yang bersaing sama-sama takut pada kekuatan buruh. Oleh karenanya mereka bekerjasama untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam perjanjiannya kaum Borjuis boleh memeras kaum buruh, tetapi Borjuis tidak boleh merongrong kekuasaan ningrat dengan menarik petani untuk masuk pabrik. Dengan demikian dalam sistem kedua kaum buruh dikorbankan demi industrialisasi dan kekuasaan kaum ningrat tetap bertahan, sedangkan kaum petani dilindungi oleh ningrat yang masih kuat dan kurang antosias pada industrialisasi. c. Menurut Kautsky 1 Sistem Tradisional Tipe sistem politik ini ada masyarakat pra-industrialisasi, dimana ada tiga kelas utama, yaitu ningrat, tani, dan menengah lama tukang, sarjana dan pedagang. Ningrat berkuasa karena menguasai sumber produksi, yaitu tanah. Golongan ini berkedudukan pada pemerintahan, militer dan agama. Kedua tani dan menengah lama menerima kekuasaan dari ningrat. Dengan demikian jika ada pertentangan politik, lebih pada pertentangan fraksi-fraksi di kelas ningrat. Kalau terjadi perubahan sistem itu karena perubahan ekonomi. Karena itu pada masa dahulu orang-orang yang menduduki jabatan pada masa pemerintahan pra-industri, para tokoh agama, para pedagang memiliki tanah yang luas. 2 Sistem Totalitarianism Sistem ini berbeda dengan sistem authoritarianism, yakni sistem dimana yang berkuasa memakai cara-cara yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaannya. Sedangkan sistem politik totalitarianism mencoba mengendalikan masyarakat secara total. Rejim authoritarianism hanya memberantas lawan politik yang berbahaya, tetapi rejim totalitarianism mau mengendalikan segala hal bahkan agama, keluarga, olah raga dan lain-lain. Totalitarianism tak mungkin tanpa industrialisasi, karena untuk melakukan kontrol penuh dibutuhkan tingkat teknologi dan komunikasi yang modern, sejata modern dan organisasi modern. 3 Sistem Totalitarianism Ningrat Sistem politik ini muncul manakala kelas ningrat memegang kekuasaan dan kelas lain tidak disertakan dalam pemerintahan. Dengan menggunakan metode totaliter untuk memerintah. Hal ini terjadi jika kelas lain seperti buruh, petani kelas menengah lama tidak memiliki cukup kekuatan dan tidak sanggup mendirikan pemerintahan sendiri, sementara kelas kapitalis pribumi terlalu lemah untuk membentuk pemerintahan. Jika kelas ningrat berkuasa, maka proses industrialisasi dan gerakan nasional merupakan ancaman. Kekuatan kelas ningrat dapat semakin berkurang, kemungkinan akan didukung oleh kaum kapitalis untuk membentuk rejim facis. 4 Sistem Totalitarianism Cendekiawan Sistem ini adalah suatu rejim yang dipimpin kaum ningrat dengan dukungan kaum kapitalis dan kaum menengah lama. Dalam sejarah di Eropa terjadi seperti Hitler di Jerman dan Musolini di Italia. Menurut Kautsky sistem totaliter yang dipimpin oleh kaum cendekiawan lebih mungkin terjadi di negara-negara baru, yaitu negara-negara yang baru merdeka setelah lama dijajah bangsa lain. 5 Sistem Demokrasi Menurut Kautsky, demokrasi adalah suatu sistem dimana semua golongan politik mempunyai kesempatan untuk diikutsertakan dalam proses politik dan pemeritahan. Demokrasi harus ada pemilu, lembaga perwakilan yang representatif. Demokrasi timbul kalau ada keseimbangan kelas-kelas bersaing dimana tidak satu kelaspun yang dapat menguasai semua kelas. Karakteristik Negara yang menganut sistem demokrasi, menurut Alamudi dalam Untari 2006, sokoguru demokrasi adalah 1 kedaulatan ada di tangan rakyat, 2 pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, 3 kekuasaan mayoritas, 4 jaminan hak-hak minoritas, 5 jaminan HAM, 6 pemilu yang bebas dan jujur, 7 persamaan di depan hukum, 8 proses hukum yang wajar, 9 pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, 10 pluralisme sosial, ekonomi dan politik, 11 nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat. 2. Fungsi sistem politik Fungsi sistem politik menurut Irish dan Protho dalam Sukarna 1979. tidak diartikan ā€ social function ā€, tetapi lebih diarahkan ke pengertian ā€ the function of govermentā€ ialah mengandung arti fungsi pemerintahan, sehingga ada unsur pencapaian tujuan. Sebelum membahas fungsi ssitem politik, terlebih dahulu perlu diketahui variabel sistem politik. Untari 20062 mengemukakan ada empat variabel sistem politik, yaitu a Kekuasaan. Dalam sistem poltik kekuasaan bukanlah tujuan, kekuasaan merupakan cara untuk mencapai hal-hal yang diinginkan aktor politik. b Kepentingan. Kepentingan adalah tujuan yang dikejar oleh para pelaku politik. c Kebijaksanaan. Hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan. Kebijaksanaan dalam sistem politik biasanya diwujudkan sebagai peraturan perundang-undangan. d Budaya politik. Budaya politik merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik. Laboratorium Pancasila mengemukakan budaya politik merupakan sikap politik yang khas terhadap sistem politik dengan berbagai ragam bagiannya dan bagaimana sikap terhadap peranan warga negara dalam sistem itu. Berdasarkan empat variabel sistem politik, maka fungsi sistem politik adalah sebagai berikut a. Kapabilitas. Kapabilitas suatu sistem politik adalah kemampuan sistem dalam menjalankan fungsinya dalam rangka keberadaannya dalam lingkungan yang lebih luas. Kantaprawira 2006 mengemukakan bahwa bentuk kapabilitas suatu sistem politik berupa 1 Kapabilitas Regulatif, Kapabilitas regulatif suatu sistem politik merupakan penyelenggaraan pengawasan terhadap tingkah laku individu dan kelompok yang ada di dalamnya; bagaimana penempatan kekuatan yang sah pemerintah untuk mengawasi tingkah laku manusia dan badan-badan lainnya yang berada di dalamnya, semuanya merupakan ukuran kapabilitas untuk mengatur atau mengendalikan. 2 Kapabilitas Ekstraktif, SDA dan SDM sering merupakan pokok pertama bagi kemampuan suatu sistem politik. Berdasarkan sumber-sumber ini, sudah dapat diduga segala kemungkinan serta tujuan apa saja yang akan diwujudkan oleh sistem politik. Dari sudut ini, karena kapabilitas ekstraktif menyangkut soal sumber daya alam dan tenaga manusia, sistem politik demokrasi liberal, sistem politik demokrasi terpimpin, dan sistem politik demokrasi Pancasila tidak banyak berbeda. SDA dan SDM Indonesia boleh dikatakan belum diolah secara otpimal. Oleh karena masih bersifat potensial. 3 Kapabilitas Distributive; dan Kapabilitas ini berkaitan dengan sumber daya yang ada diolah, hasilnya kemudian didistribusikan kembali kepada masyarakat. Distribusi barang, jasa, kesempatan, status, dan bahkan juga kehormatan dapat diberi predikat sebagai prestasi riil sistem politik. Distribusi ini ditujukan kepada individu maupun semua kelompok masyarakat, seolah-olah sistem poltik itu pengelola dan merupakan pembagi segala kesempatan, keuntungan dan manfaat bagi masyarakat. 4 Kapabilitas Responsif Sifat kemampuan responsif atau daya tanggap suatu sistem politik ditentukan oleh hubungan antara input dan output. Bagi para sarjana politik, telaahan tentang daya tanggap ini akan menghasilkan bahan-bahan untuk analisis deskriptif, analisa yang bersifat menerangkan, dan bahkan analisa yang bersifat meramalkan. Sistem politik harus selalu tanggap terhadap setiap tekanan yang timbul dari lingkungan intra-masyarakat dan ekstra-masyarakat berupa berbagai tuntuan. 5 Kapabilitas Simbolik. Efektivias mengalirnya simbol dari sistem politik terhadap lingkungan intra dan ekstra masyarakat menentukan tingkat kapabilitas simbolik. Faktor kharisma atau latar belakang sosial elit politik yang bersangkutan dapat menguntungkan bagi peningkatan kapabilitas simbolik. Misalnya Ir Soekarno-Megawati, dengan keidentikan seorang pemimpin dengan tipe ā€œpanutanā€ dalam mitos rakyat, misalnya terbukti dapat menstransfer kepercayaan rakyat itu menjadi kapabilitas benar-benar riil. 6 Kapabilitas Dalam Negeri dan Internasional Suatu sistem politik berinteraksi dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Kapabilitas domestik suatu sistem politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya terhadap kapabilitas internasional. Yang dimaksud dengan kapabilitas internasional ialah kemampuan yang memancar dari dalam ke luar. Misalnya kebijakan sistem politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Israel, juga akan mempengaruhi sikap politik negara-negara di timur tengah. Oleh karena itulah, pengaruh tuntutan dan dukungan dari luar negeri terhadap masyarakat dan mesin politik resmi, maka diolahlah serangkaian respons untuk menghadapinya Politik luar negeri suatu negara banyak bergantung pada berprosesnya dua variabel, yaitu kapabilitas dalam negeri dan kapabilitas internasional. b. Konversi Fungsi sistem politik konversi menggambarkan kegiatan pengolahan input menjadi output yang formulasinya meliputi 1. penyampaian tuntutan interest artivculation 2. perangkuman tuntutan menjadi alternatif tindakan pembuatan aturan interest aggregation 3. pelaksanaan peraturan regulative implementation 4. menghakimi jugdment 5. komunikasi communication c. Pemeliharaan dan penyesuaian adaptation Fungsi sistem politik pemeliharaan dan penyesuaian adaptation adalah menyangkut sosialiasasi dan rekruitmen yang bertujuan untuk memantapkan bangunan struktur politik dari sistem politik Untari, 2006 18. Di dalam sejarah perjalanan pemerintahan Indonesia sejak merdeka hingga sekarang, terdapat sistem politik berbeda-beda dari satu periode ke periode lainnya, seperti sistem politik dan struktur politik di masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, maupun demokrasi Pancasila. Sukarna 1979 mengemukakan ada dua fungsi utama yang merupakan ciri esensial yang perlu ada dalam sistem politik, ialah 1 Perumusan kepentingan rakyat identification of interest in the population; dan 2 Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan selection of leaders or official decision maker. Wahyu 2008 mengemukakan ada beberapa fungsi sistem politik meliputi 1 fungsi pembuatan aturan-aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan memenuhi tuntutan; 2 fungsi output dari kegiatan pembuatan keputusan adalah pembuatan peraturan rule making, pelaksanaan peraturan rule aplication dan penyelesaian konflik rule ajudication function. 3 fungsi perumusan kepentingan rakyat identification interest in the population, dan 4 fungsi pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan selection of leaders of official decision maker Di negara demokrasi yang penduduknya sudah maju pemilihan pemimpin atau pejabat pembuatan keputusan di negara itu melalui proses kompetisi atau persaingan yang berat, sehingga lebih berat bila dibandingkan pada negara atau masyarakat feodal dan negara kediktatoran. Pemilihan pemimpin pada masyarakar feodal atau kediktatoran dilakukan dengan cara menjilat ke atasan. Siapa yang loyal, dekat dengan pemimpin yang lebih tinggi dengan mudah menjadi pemimpin atau pejabat.. Di Indonesia, proses pemilihan pemimpin berbeda dari masa ke masa kepemimpinan. Saat ini, seorang calon pemimpin disamping harus melalui tes and property, juga sarat lain, misal loyalitas dan tidak pernah berbuat kriminal. Dengan demikian sistem politik di Indonesia adalah suatu sistem politik yang berlaku atau sebagaimana adanya di Indonesia, baik seluruh proses yang utuh maupun hanya sebagian saja; Sistem politik Indonesia dikatagorikan dan berfungsi sebagai mekanisme yang sesuai dengan dasar negara, ketentuan konstitusional maupun juga memperhitungkan lingkungan masyarakat secara riil Kantaprawira, 2006 86. Wahyu 2008 mengemukakan ada 4 komponen dalam sistem politik, yaitu 1 Kekuasaan. Kekuasaan sebagai suatu cara untuk mencapai hal yang diinginkan/tujuan bersama. 2 Kepentingan Kepentingan merupakan tujuan yang dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok politik 3 Kebijaksanaan Kebijaksanaan merupakan hasil interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan. 4 Budaya politik. Budaya politik merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik. C. Sifat Sistem Politik. Pada umumnya sistim politik mempunyai sifat yang universal, yaitu a. Proses. Proses adalah pola-pola yang dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antara satu dengan yang lain misalnya dalam suatu negara ada lembaga-lembaga negara seperti parlemen, partai politik, birokrasi, badan peradilan, badan eksekutif dan lain-lain. b. Struktur Struktur mencakup lembaga-lembaga formal dan informal. c. Fungsi. Fungsi dalam sistem politik ada dua, yaitu fungsi input dan fungsi output. Fungsi input terdiri atas sosialisasi politik, rekruitmen politik, artikulasi menyatakan kepentingan, agregasi memadukan kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output terdiri atas pembuatan peraturan, penerapan peraturan, dan ajudikasi pengawasan peraturan. D. Tipe-Tipe Sistem Pemerintahan Di negara-negara demokrasi modern terdapat dua model utama sistem pemerintahan dengan berbagai variasinya. Model tersebut adalah sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlamenter. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahannya, dan masing-masing tumbuh dan berkembang atas dasar pemikiran, asumsi, dan sejarahnya. Sistem presidensial khususnya di Amerika Serikat, beranggapan bahwa pemisahan kekuasaan badan-badan pemerintahan menjadi unsur pokok yang dapat mencegah peluang untuk terjadinya tirani dan kediktatoran. Teori tentang pemisahan kekuasaan dari Montesquieu ini kemudian menjadi doktrin yang mengilhami sistem pemerintahan presidensial dalam konstitusi Amerika Serikat. Sementara itu, sistem parlementer umumnya lebih mengutamakan hubungan kelembagaan yang erat partnership atau kemitraan dalam konteks Inggris antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif dan cabang legislatif pemerintahan. Sistem semi-presidensial merupakan kombinasi antara dua model klasik itu, tetapi dengan variasi dan praktek yang berbeda-beda antara satu negara dengan yang lain. a. Sistem pemerintahan parlementer Sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan di mana tugas-tugas pemerintahan dipertanggungjawabkan oleh kepala pemerintahan perdana menteri kepada parlemen. Sistem pemerintahan parlementer di mana antara ekskutif dan legeslatif terdapat hubungan erat dan saling mempengaruhi. Kabinet bertanggung-jawab dan dibubarkan oleh legislatif. Sistem Pemerintahan Parlementer umumnya negara berlatar belakang kerajaan menganut sistem pemerintahan parlementer. Misalnya Inggris dengan sebagian negara-negara yang tergabung dalam Commonwealth-nya, Jepang, Thailand, dan sebagainya. Karenanya ada yang mengaitkan kedekatan sistem parlementer dengan negara- negara dengan negara-negara kerajaan. Tetapi tidak semua negara dengan pemerintahan parlementer kepala negaranya raja atau ratu. Ada negaranegara republik yang sistem pemerintahannya parlementer seperti Singapura, Italia, dan India. Presiden dalam sistem parlementer kekuasaannya hanyalah simbolik. Tentunya banyak variasi dan jenis sistem parlementer. Sistem pemerintahan parlementer cenderung labil tidak mantap, terutama bila dalam Negara itu diterapkan sistem multipartai. Namun bila menganut dwipartai, di mana satu partai pendukung pemerintah mayoritas yang berkuasa posisi diimbangi dengan partai oposisi minoritas, maka kecenderungan kelabilan dapat dikurangi. Dengan sistem pemerintahan parlementer dapat diterapkan teori trias politika, baik melalui separation of powers pemisahan kekuasaan maupun distribution of powers pembagian kekuasaan. Contoh Inggris, Malaysia, India. b. Sistem pemerintahan presidensial Sistem pemerintahan presidensial yaitu sistem pemerintahan dimana tugas-tugas pemerintahan dipertanggungjawabkan oleh presiden kepala pemerintahan Dalam sistem pemerintahan pesidensial, pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada presiden, sedangkan kekuasaan kehakiman atau pengadilan menjadi tanggung jawab supreme court Mahkamah Agung. Kekuasaan untuk membuat undang-undang berada pada parlemen DPR atau kongres senat dan parlemen Amerika. Dalam praktek sistem pemerintahan presidensial ada yang mengembangkan ajaran trias politica Montesquieu secara murni dengan separation of powers, seperti Amerika yang dikenal praktek-prektek check and balance. Praktek-praktek demikian bertujuan agar di antara ketiga kekuasaan tersebut selalu terdapat keseimbangan dalam keadaan teretentu. Sistem presidensial pun bisa ditemukan dalam bentuk yang bervariasi di sejumlah negara. Misalnya saja antara sistem pemerintahan presidensial gaya Amerika Serikat berbeda dengan sistem presidensial gaya Indonesia atau negara- negara lain. Sistem pemerintahan model Amerika secara teoritis merupakan model pemerintahan presidensial yang murni. Konstitusi RI jelas telah menetapkan sistem pemerintahan presidensial. Pemerintahan presidensial mengandalkan pada individualitas yang mengarah pada citizenship. Sistem pemerintahan presidensial bertahan pada citizenship yang bisa menghadapi kesewenang-wenangan kekuasaan dan juga kemampuan DPR untuk memerankan diri memformulasikan aturan main dan memastikan janji presiden berjalan. Pemerintahan presidensial memang membutuhkan dukungan riil dari rakyat yang akan menyerahkan mandatnya kepada capres. Namun, rakyat tak bisa menyerahkan begitu saja mandatnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan capres. Artinya, rakyat menuntut adanya ide pembangunan, bukan semata-mata identitas dari capres. Rakyat tak cukup disuguhi jargon abstrak soal NKRI, ideologi Pancasila, ekonomi kerakyatan, ekonomi kebangsaan, atau perlunya penghapusan dikotomi Islam santri dan Islam abangan yang hanya menunjukkan politik identitas. Perlu ada transformasi dari perjuangan identitas menjadi perjuangan ide. Pemerintahan presidensial Indonesia Pasca-Pemilu 2004 juga menghadapi tantangan lain. Tantangan yang dimaksud adalah memastikan adanya pemerintahan yang efektif, yang tidak selalu dirongrong oleh parlemen. Dalam parlemen yang terfragmentasi dan majemuknya representasi identitas, maka pemerintahan presidensial akan menghadapi tantangan. Secara konstitusional, DPR mempunyai peranan untuk menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan, membuat undang-undang dan peranan lain seperti penetapan pejabat dan duta. Presiden tak lagi bertanggung jawab pada DPR karena ia dipilih langsung oleh rakyat. DPR tak akan mudah melakukan impeachment lagi karena ada lembaga pengadil yakni Mahkamah Konstitusi. Meskipun peranannya telah mengecil, DPR dengan kekuatan politik yang menyebar berpotensi untuk terus mengganggu dan mengganggu eksekutif. Dengan perilaku politik yang tak banyak berubah, DPR masih punya peluang untuk mengganjal kebijakan presiden dalam menentukan alokasi budget, DPR masih bisa bermanuver untuk membentuk pansus atau panja, DPR bisa mengajukan undang-undang yang mungkin tak sejalan dengan kebijakan presiden. Di sinilah deadlock bisa terjadi. Melihat real politik yang ada, koalisi memang diperlukan. Namun, agar tak mengganggu sistem presidensial yang dianut dan adanya pemerintahan yang efektif, koalisi dibangun dengan tetap mengacu pada prinsip sistem presidensial. Presiden berhak menunjuk anggota kabinetnya untuk merealisasikan ide dan program pembangunan yang dimilikinya, jika memang ada. Kehendak mitra koalisi untuk meminta portofolio menteri dan memaksakan ide atau program sebenarnya menyimpang dari prinsip sistem presidensial. Melihat realitas politik yang ada, baik dari sisi konstitusional maupun munculnya capres-capres yang tak mempunyai dukungan mayoritas, banyak orang meragukan akan hadirnya pemerintah yang efektif. Pemerintah yang mampu memberikan arah dan merealisasikan program yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis. Banyak orang yang khawatir, yang muncul justru adalah pemerintahan yang tidak efektif, namun juga sulit untuk dijatuhkan. Ke depan, sistem pemerintahan presidensial mempunyai pekerjaan rumahnya sendiri, yakni bagaimana mendorong parlemen yang akan didominasi muka-muka baru untuk lebih memikirkan substansi kebijakan. Perpolitikan ke depan harus didorong ke arah adanya kontestasi ide, lebih dari sekadar kontestasi identitas. Perlu ada perjuangan untuk mentransformasikan dari perjuangan identitas menjadi perjuangan ide. Dengan itu, kelembagaan politik lebih mudah dikelola dan lembaga-lembaga di luar mesin politik resmi ikut memegang peranan signifikan. c. Sistem Pemerintahan Campuran Sistem ini telah menyita perhatian para ahli untuk melakukan kajian. Beberapa ahli menyebut sistem ini sebagai campuran antara dua sistem presidensial dan parlementer di atas. Pendapat lain menyebutnya sistem yang berada di antara presidensial dan parlementer sebagai sistem presidensial. Negara-negara yang menjalankan sistem semi-presidensial misalnya adalah Prancis, Finlandia, Austria, Argentina, Irlandia, Islandia dan Portugal, Srilanka melalui konstitusi 1978 dan sistem yang berlaku dulu di Jerman tahun 1919 di bawah Republik Weimar. Para pendukungnya menyebut sebagai sistem yang mengambil keuntungan dari sistem presidensial. Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut ā€œKonstitusi sistem pemerintahan parlementerā€. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran. Sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia tidaklah murni menganut teori trias politika karena selain adanya ekskutif, legeslatif dan yudikatif, masih ditambah kekuasaan konstitutif MPR, eksaminatif atau inpektif BPK, dan konsultatif konsultatif dengan sistem distribution of powers atau pembagian kekuasaan. e. Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial adalah sebagai berikut a. Ciri secara Umum - Kedudukan presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan; - Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau sebuah badan pemilih; - Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif; - Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakannya pemilu. - Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan atas kekuatan-kekuatan politik yang menguasai parlemen; - Anggota kabinet seluruhnya atau sebagian adalah anggota parlemen; l Perdana menteri bersama cabinet bertanggungjawab kepada parlemen; - Kepala negara raja/ratu atau presiden dengan saran perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum. b. Ciri menurut Strong - Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan - Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih - Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum - Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen - Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen - Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum. c. Ciri secara rinci - Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan - Presiden tidak dapat membubarkan cabinet - Presiden bertanggungjawab jalannya pemerintahan - Menteri bertanggungjawab kepada presiden - Menteri diangkat dan diberhentikan presiden - Masa jabatan menteri dapat ditentukan, yaitu bersamaan presiden Seluruh menteri merupakan pilihan presiden hak prerogative - Kekuasaan parlemen sejajar dengan pemerintah - Raja presiden sebagai kepala negara - Raja presiden sebagai symbol kedaulatan dan keutuhan negara. - Kepala negara tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan. - Raja presiden dapat membubarka parlemen. - Menteri bertanggung jawab jalannya pemerintahan. - Menteri bertanggung jawab kepada diangkat dan diberhentikan oleh Parlemen. - Masa jabatan cabinet tidak dapat ditentukan , karena tergantung dukungan parlemen. Seluruh atau sebagian menteri merupakan anggota parpol yang ada di parlemen. - Kekuasaan parlemen lebih kuat daripada pemerintah PM /Dewan Menteri d. Ciri menurut Budiyanto - Dikepalai oleh seorang presiden selaku pemegang kekuasaan ekskutif kepala pemerintahan sekaligus kepala Negara - Kekuasaan ekskutif presiden dijalankan berdasarkan kedaulatan rakyat yang dipilih dari dan oleh rakyat melalui badan perwakilan - Presiden mempunyai hak prerogative untuk mengangkat dan memberhentikan para pembantunya menteri, baik yang memimpin departemen maupun tidak. - Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada presiden dan bukan kepada DPR. - Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, maka presiden tidak dapat saling menjatuhkan dengan DPR. - Kekuasaan legeslatif DPR lebih kuat daripada kekuasaan ekskutif pemerintah= perdana menteri - Menteri-menteri cabinet harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada DPR. Artinya, cabinet harus mendapat kepercayaan mosi dari parlemen. - Program-program cabinet harus disesuaikan dengan sebagian besar anggota parlemen. Bila cabinet melakukan penyimpangan terhadap program-program kebijaksanaan yang dibuat maka anggota parlemen dapat menjatuhkan cabinet dengan memberi mosi tidak percaya kepada pemerintah. - Kedudukan kepala Negara raja, ratu, pangeran, kaisar hanya sebagai lambing,symbol yang tidak dapat diganggu gugat. f. Kelebihan dan Kekurangan masing-masing sistem pemerintahan Arend Lijphart dalam buku Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial menyebutkan sistem parlementer dan presidensial mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan presidensial akan menjadi kelemahan parlementer dan sebaliknya. a. Arend Lijphart Dalam stabilitas pemerintahan demokrasi yang lebih besar pemerintahan yang lebih terbatas Hubungan baik ekskutif dengan legeslatif dlm waktu tertentu Pemrintah lebih meluas Kemandekan deadlock eksekutif-legislatif kekakuan temporal pemerintahan yang lebih eksklusif Cenderung tidak stabil Dominasi partai Pemerintah tidak terbatas b. Menurut - Ekskutif lebih stabil kedudukannya - Penyususnan program cabinet lebih mudah disesuaikan dengan masa jabatan - Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan ekskutif, karena dapat diisi oleh orang luar - Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat, karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara ekkutif dengan legeslatif - Kekuasaan ekskutif dan legeslatif berada dalam satu partai koalisi - Garis tanggungjawab dalam pelaksanaan publik jelas - Pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap cabinet - Kedudukan ekskutif cabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen, sehingga sewaktu-waktu cabinet dapat dijatuhkan parlemen - Kekuasaan ekskutif di luar pengawasan langsung legislatif, sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak - Sistem pertanggungjawaban kurang jelas - Pembuatan keputusan/kebijakan publikumumnya hasil tawar menawar ekskutif dan - Kedudukan ekskutif cabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen, sehingga sewaktu-waktu cabinet dapat dijatuhkan parlemen - Kelangsungan kedudukan ekskutif tidak dapat ditentukan,karena sewaktu-waktu dapat dibubarkan - Kebinet dapat mengendalikan parlemen, apabila para anggota cabinet merupakan anggota parlemen dari partai mayoritas legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu lama 4 Fungsi Sistem Pemerintahan Agar pemerintah berjalan efekiif, maka ada 3 tiga persyaraan yang harus dipenuhi yaitu a. kemampuan untuk mengawasi angkatan bersenjata; b. kewenangan untuk membuat undang-undang; c kekuasaan finansial, yaitu kewenangan untuk memungut pajak dan cukai atau bentuk pengutan lain dari rakyat guna biaya mempertahankan negra serta menjalankan hukum. Atau singkat kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta kepolisian Tujuan pemerintahan adalah untuk mencapai kesejahteraan dalam negara. Untuk itulah diperlukan usaha dan kegiatan untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Usaha dan kegiatan itu meliputi bagaimana alat perlengkapan negara mencapai dan dengan apa dicapai. Pelaksana yang diberi tugas untuk mencapai kesejahteraan tersebut adalah pemerintah, sedangkan bagaimana dan dengan cara apa mencapai kesejahteraan tersebut cara mengatur/memerintah. Cara mengatur/memerintah terkait dengan suatu sistem. Sistem pemerintah menjelaskan bagaimana hubungan antara alat perlengkapan negara mencapai dan bekerja untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat. Secara umum alat-alat perlengkapan negara yang terdapat dalam suatu negara meliputi a. Lembaga legislatif, merupakan lembaga atau badan pembuat undang-undang. b. Lembaga eksekutif, merupakan lembaga atau aparat pelaksana undang-undang; c. Lembaga yudikatif, yaitu lembaga yang bertugas di bidang kehakiman atau kekuasaan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara terhadap pelanggaran undang-undang. d. Lembaga lainnya yang merupakan alat perlengkapan negara seperti di Indonesia terdapat BPK, Mahkamah Konstitusi, KPU, Komisi Yudisial dsb Berdasarkan penjelasan di atas maka yang dimaksud sistem pemerintahan merupakan hubungan antara organ pemerintah dengan organ-organ lain yang ada dalam suatu negara. Sistem pemerintahan secara umum ada dua yaitu 1 sistem pemerintahan Presidensiil dan 2 sistem pemerintahan parlementer. Untuk memahaminya dapat dibaca pada perbandingan sistem pemerintah pada sub berikutnya. D Kedudukan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia di dasarkan pada Trias Politika, dengan sistem distribution of power yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggotanya mewakili propinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing. Berdasarkan pasal 3 ayat 1 MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. DPR berdasarkan pasal 20 ayat 1 memegang kekuasaan membentuk UU, sedangkan DPD berdasarkan pasal 22 ayat 1 dapat mengajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah dengan pusat, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selanjutnya DPD ikut membahas rancangan tersebut di atas, dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang, APBN, pajak, pendidikan dan agama, serta mengawasi pelaksanaan UU tersebut ayat 2 dan 3 Majelis Permusyawaratan Rakyat DPR/DPD semula adalah lembaga tertinggi negara. Sekarang setelah UUD 1945 diamandemen kedudukan MPR sebagai lembaga negara. Seluruh anggota DPR adalah anggota MPR ditambah anggota DPD. Sebelumya konstitusi UUD 1945, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua Lembaga eksekutif berpusat pada Presiden, wakil Presiden dan Kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategi umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai berasal dari seseorang yang dianggap Ahli dalam bidangnya. Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi termasuk pengaturan administradi para Hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan dalam pelaksanaan administradi putusan peradilan. Di negara manapun, kedudukan sistem politik dan pemerintahan sangat menentukan implementasi para penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sistem politik demokrasi, selalu akan melibatkan rakyat dalam menentukan public policy, adanya perwakilan rakyat yang represen-tatif, perlindungan hak asasi manusia, penegakan hukum yang bebas, kepentingan rakyat diutamakan. Sebaliknya bagi negara totaliter, keterlibatan rakyat kurang diperhatikan, semua sektor dikendalikan oleh pemerintah, rakyat kurang bebas berbicara.. Berawal dari sistem politik itulah akan menentukan corak atau sistem pemerintahan. Dengan demikian kedudukan sistem politik juga akan menentukan sistem pemerintahan. Keduanya merupakan mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 setelah diamandemen adalah sebagai berikut badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakimanKYUUD 1945PUSAT DAERAHTUNMiliterAgamaUmumLingkungan Peradilankpu bank sentralDPR DPDMPRPERWAKILAN BPK PROVINSILEMBAGA-LEMBAGA DALAM SISTEM KETATANEGARAANmenurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945BPK MA MKTNI/POLRIdewan pertimbanganKementerian NegaraPresiden/Wakil PresidenPEMDA PROVINSIDPRDKPDPEMDA KAB/KOTADPRDKPDSumber Sosialiasi UUD 1945 setelah diamandemen. E. Perbedaan sistem politik dan Sistem Pemerintahan. 1. Perbedaan Sistem Politik Berbicara tentang perbandingan sistem politik di Indonesia, tidak terlepas dari interpretasi terhadap sistem politik itu sendiri. Sistem politik di Indonesia sebagai seluruh proses sejarah dari saat berdirinya negara Indonesia sampai dewasa ini, atau hanya dalam periode-periode tertentu dari proses perjalana sejarah. Dalam kenyataan kita dapat menjumpai perbedaan-perbedaan esensial sistem politik di Indonesia dari satu periode ke periode yang lain, misalnya sistem poiltik demkorasi liberal, sistem demokrasi terpimpin, sistem demokrasi Pancasila, sedangkan falsafah negara tetap tidak berubah. Apa sebabnya ini terjadi? Apa penyebab adanya perbedaan bahkan gejala bertolak belakang antara cita-cita dan implementasinya? Jawabanya mengandung dua kemungkinan yang harus dipertimbangkan dan diselidiki lebih lanjut, yaitu 1 falsafah tidak banyak berpengaruh terhadap sistem poltik, artinya juga tidak berpengaruh terhadap aktor perilaku politik; atau 2 belum ditemukan standar dan model sistem politik Indonesia yang sesuai dan menyangga mendukung cita-cita tadi. 1. Demokrasi Liberal. Di Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3 Nopember 1945, yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui Maklumat Pemerintah. Sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama. Demokrasi liberal dikenal pula demokrasi-parlementer, oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dengan demikian demokrasi liberal di Indonesia secara formal berakhir pada tanggal 5 Juli 1959, sedangkan secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi Terpimpin dilaksanakan, antara lain melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal 10 Nopember pada saat Konsepsi Presiden tanggal 21 Pebruari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional. Pada periode demokrasi liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya. lihat pada tabel 1 di bawah ini 2. Demokrasi Terpimpin Dalam periode demokrasi terpimpin ini pemikiran a la demokrasi barat banyak ditinggalkan. Tokoh politik Soekarno yang memegang pimpinan nasional ketika itu menyatakan bahwa demokrasi liberal demokrasi-parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif dan ia kemudian memperkenalkan apa yang disebut musyawarah untuk mufakat. Sistem multi-partai oleh tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan, karena masyarakat lebih didorong ke arah bentuk yang fragmentaris. Demokrasi ini berlaku sejak 5 Juli 1959 sampai dengan 11 maret 1966. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian dibentuk badan yang disebut front nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner, disebut demikian karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan itu misalnya Presiden membubarkan DPR, Badan Konstituante, dan sebagainya. 3. Demokrasi Pancasila Penelaahan terhadap Demokrasi Pancasila tentu tidak dapat bersifat final di sini, karena masih terus berjalan dan berproses. Dalam demokrasi Pancasila sampai dewasa ini penyaluran berbagai tuntutan yang hidup dalam masyarakat menunjukkan keseimbangan. Pada awal pelaksanaan sistem politik ini dilakukan penyederhanaan sistem kepartaian, muncullah satu kekuatan politik yang dominan, yaitu Golkar dan ABRI. Dalam perjalanan PEMILU berikut sejak, setelah orde reformasi, bermuncullah partai politik, yang ketika masa Orde Baru melebur ke tiga partai besar yaitu Golkar, PPP dan PDI. Hingga munculnya Amandemen terhadap UUD 1945, falsafah Negara yaitu Pancasila masih tetap tidak berubah, bahkan dipertahankan sebagai hukum dasar nasional TAP No. III/MPR/2000. Kegagalan tiga partai besar dalam perannya sebagai lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan tidak berfungsinya chek and balance, akibat terpolanya sistem politik kompromistis dari elit politik, justru tidak mencerminkan wakil rakyat yang sesungguhnya. Karena itulah muncul ketidakpuasan rakyat, dan muncullah gerakan reformasi, salah satu dampaknya adalah lahir kembali partai-partai kecil. Partai-partai kecil ini ada yang murni berdiri tanpa melalui induk semangnya, tetapi ada yang memisahkan dari induknya. Nilai-nilai demokrasi Pancasila yang harus tetap dijunjung tinggi adalah kehidupan politik adalah a Sebagai warga negara punya hak dan kewajiban yg sama b Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain c Tidak boleh memaksakan kehendak pada orang lain d Mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan e Musyawarah untuk mencapai mufakat, diliputi semangat kekeluargaan f Musywarah dilakukan dengan akal sehat dan nurani yg luhur g Menjunjung tinggi setiap keputusan h Menerima dan melaksanakan hasil keputusan i Keputusan diambil harus dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. j Memberi kepercayaan kepada wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan . lebih lanjut lihat pada tabel 1 di bawah ini Lebih lanjut perbandingan sistem politik di Indonesia yang dianalisis berdasarkan demensi masalah dan dimensi waku dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1 Perbandingan Sistem-sistem Politik di Indonesia Demensi Waktu Demensi masalah ā‰ˆ tuntutan lebih besar dari pada kapabilitas sistemnya ā‰ˆ tuntutan lebih besar dari pada kapabilitas sistemnya ā‰ˆ tuntutan sudah mulai seimbang dengan kapabilitas ā‰ˆ selektor dan filter sangat lemah, semua input diterima sedangkan output tidak seimbang dengan tuntutan. ā‰ˆ Melalui sistem multipartai ā‰ˆ gaya nilai mutlak melalui front nasional dan sistem satu partai yang tak kentara. ā‰ˆ stabilitas semu pseudo stability sistemnya ā‰ˆ melalui sistem partai dominan atau sistem satu setengah partai Pemeliharaan dan kontinuitas nilai ā‰ˆ keyakinan akan HAM sangat tinggi ā‰ˆ berdasarkan keyakinan ideologi, gaya pragmatik kurang menonjol. ā‰ˆ pertarungan antara gaya ideologi versus garapragmatik ā‰ˆ HAM banyak dihiraukan ā‰ˆ pemikirn ideologik berperanan menonjol. ā‰ˆ konflik meningkat atau bahaya laten. ā‰ˆ HAM diimbangi oleh kewajiban asasi. ā‰ˆ gaya pragmatik menonjol. ā‰ˆ kontinuitas nilai bernegara dikukuhkan berdasarkan UUD 1945 dan konflik menurun. ā‰ˆ pengolahan potensi ekstratif dan distributif menurut ekonomi bebas dilakukan oleh kabinet yang pragmatik, sedangkan kapabilitas simbolik lebih diutamakan oleh kebinet ideologik ā‰ˆ keadilan mendapat perhatian kabinet ideologik, sedangkan kemakmuran oleh kabinet pragmatik. ā‰ˆ pemerintah berperanan besar dalam pengelolaan ekstraktif dan distributif ā‰ˆ ekonomi bebas ditinggalkan, mulai ekonomi etatisme. ā‰ˆ kapabilitas simbolik melalui pembangunan bangsa dan pembangunan karakter ā‰ˆ kapabilitas responsif melemah karena saluran satu-satunya hanyalah front nasional FN ā‰ˆ ekonomi bebas sampai batas-batas tertentu menjadi kebijaksanaan pemerintah ā‰ˆ kapabilitas dalam negeri menjadi mantap dan karenanya menunjang kapabilitas internasionalnya penanaman modal asing, bantuan asing, dan pinjaman mengalir. ā‰ˆ antara elit politik dengan massa atas ā‰ˆ ikatan primordial melemah dalam ā‰ˆ Komunikasi dua arah mendekatkan dasar pola aliran hubungan atas – bawah ā‰ˆ Hubungan bawah – atas berdasar-kan pola paternalistik rangka nation- building ā‰ˆ Pola paternalistik tetap hidup subur hubungan elit dan massa dalam soal-soal yang pragmatic. ā‰ˆ Kepemimpinan secara bergantian antara solidarity makers dan dan administrators. ā‰ˆ Solidarity makers lebih mendapat angin ā‰ˆ Pertentangan antar elit solidarity makers versus administrators di menangkan oleh penghimpunan solidarity. ā‰ˆ Antar elit ditemukan, consensus tentang pembangunan ā‰ˆ kerjasama antar teknokrat khususnya antara intelegensia militer dan intelegesia sispil ā‰ˆ administrators mendapat angā‰ˆ ideologik, karenanya bersifat desinegratif. ā‰ˆ desintegratif elit tercermin dalm masyarakat sebagai schisme. ā‰ˆ masih bersifat ideologik , walau sudah ada penyederhanaan kapartaian. ā‰ˆ tokoh politik sebagai titik pusat politik bertindak sengat coercive. ā‰ˆ gaya ideologik sudah tidak manggung/ menonjol. ā‰ˆ gaya pragmatik yang berorientasi pada program serta pemecahan masalah lebih menonjol.. ā‰ˆ berasal dari angkatan 1928. ā‰ˆ masih bersifat primordial aliran, agama, suku, dan daerah ā‰ˆ partai-partai politik yang manggung.. ā‰ˆ berasal dari angkatan 1928 dan 1945 dengan tokoh politik; Soekarno sebagai titik pusatnya. ā‰ˆ Kharismatik dan paternalistik. ā‰ˆ bersifat legal atas dasar ketentuan konstitusionil. ā‰ˆ ABRI sebagai titik pusat dibantu oleh teknokrat sipil.. Perimbangan partisipasi politik dengan kelembagaan a Massa ā‰ˆ partisipasi massa sangat tinggi. ā‰ˆ deviasi terhadap anggapan rakyat telah mempunyai kebudayaan politik partisipasi sebenarnya masih berbudaya politik kaula dan parokhial. ā‰ˆ partisipasi massa hanya melalui Front Nasional. ā‰ˆ output simbolik meningkat dengan adanya rapat-rapat raksasa untuk mendukung regim ā‰ˆ partisipasi massa dikembalikan dan terbatas dalam peristiwa tertentu saja pemilihan umum, karena konsep ā€ the floating massā€ ā‰ˆ karena pengaruh demokrasi barat, maka supremasi sipil lebih menonjol ā‰ˆ peristiwa 17 oktober 1952 merupakan titik balik menuju perkembangan selanjutnya ā‰ˆ Sejak dwan nasional dan front nasional partisipasi mantan pejuang meningkat dan termasuk dalam golongan fungsional. ā‰ˆ partisipasi tentara seha dewan nasional dan front nasional, dengan indikator pos-pos penting kenegaraan dipegang oleh militer. ā‰ˆ partisipasi veteran meningkat melalui angkatan 1945, Pepabri, dll. ā‰ˆ partisipasi tentara makin meningkat dengan doktrin, kekayaan dan dwi-fungsi ABRI ā‰ˆ partisipasi dalam lembaga perwakilan melalui pengangkatan. Pola pembangunan Aparatur Negara ā‰ˆ berlangsung pola bebas. ā‰ˆ afiliasi dengan partai sering menyebabkan loyalitas kembar yang inefektif ditinjau dari ā‰ˆ loyalitas kembar dari pegawai negeri golongan tertentu menjadi tidak dibenarkan. ā‰ˆ pemingkatan pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan depolitisasi pegawai negeri dan diarahkan pada usaha pembentukan golongan profesi.. ā‰ˆ terjadi stabilitas politik yang berakibat negatif bagi usaha-usaha pembangunan ā‰ˆ Stabilitas bersifat semu, yang dipertahankan dengan cara-cara tangan besi ā‰ˆ stabilitas ini tidak dipergunakan untuk memperhatikan pembangunan ekonomi ā‰ˆ meningkat melalui scurity approach di samping persuasive approach ā‰ˆ yang hendak dicapai adalah stabilitas dinamis. E. Perbedaan sistem pemerintahan di Indonesia. Secara umum sistem pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia hanya ada dua, yaitu 1 sistem pemerintahan presidensiil dan 2 sistem pemerintahan parlementer. 1. Sistem Pemerintahan Presidensial Dalam sistem pemerintahan Presidensial kedudukan kepada negara sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan yang dimiliki Presiden merupakan kekuasaan riil dan dengan kedudukan demikian untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. Sistem pemerintahan Presidensial Non-Parlementary Executive kelangsungan hidup ekskutif tidak tergantung pada lembaga legislatif, mengingat kedudukan eksekutif relatif kuat, karena itu ciri sistem pemerintahan Presidensial a kekuasaan di dasarkan prinsip pembagian kekuasaan distribustion of power, b eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen, demikian juga sebaliknya parlemen tidak bisa menjatuhkan eksekutif, c tidak ada pertanggung jawaban bersama mutual responsibility antara presiden dan kabinet, karena tanggung jawab pemerintahan terletak di tangan Presiden selaku kepala Pemerintahan. Menurut Witman Wuest dalam Untari 2006 dikemukakan bahwa sistem pemerintahan Presidensiil dapat digambarkan pada bagan berikut ini. Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa 1 terdapat prinsip pembagian kekuasaan; 2 ada keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif dan keduanya tidak bisa saling menjatuhkan atau membubarkan, 3 pertanggung jawaban bersama mutual responsibility antara Presiden dan Kabinetnya tidak ada, tanggung jawab hanya terletak di tangan Presiden selaku kepala Pemerintahan. Namun demikian Presiden mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri negara. 2. Sistem Pemerintahan Parlementer Sistem pemerintahan parlementer, kekuasaan parlemen lebih menonjol dibandingkan kekuasaan presiden atau raja. Dalam hal ini kedudukan presiden atau raja hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan atau kekuasaan riil dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri beserta kabinetnya tunduk dan bertanggung jawab pada parlemen. Dalam sistem ini hubungan lembaga eksekutif dan legislatif sangat erat. Namun terkesan kedudukan legislatif lebih kuat dari pada eksekutif. Seberapa lama eksekutif memegang kepercayaan dalam mengendalikan pemerintahan sangat tergantung pada kepercayaan dalam mengandalikan pemerintahan sangat tergantung pada kepercayaan dan dukungan parlementer. Dalam sistem pemerintahan parlementer terdapat a didasarkan atas prinsip penyebaran kekuasaan, b terdapat adanya pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan kabinet, c Perdana Menteri, diangkat oleh kepala negara berdasarkan dukungan mayoritas legislatif, Presiden, Actual and Titular Executive Cabinet Heads Administrative Departement, responsible to President only d Kedudukan dan pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan kabinet dalam arti eksekutif dapat membubarkan parlemen sebaliknya eksekutif/ kabinet dapat meletakkan jabatan manakala parlemen menyatakan mosi tidak percaya. Menurut Allan R. Ball dalam Untari 2006 disebutkan bahwa ciri-ciri sistem pemeritahan parlementer adalah a Kepala negara berperan sebagai pemimpin formal dan seremonial serta mempunyai pengaruh politik yang kecil. Kepala negara bisa seorang raja/ratu Inggris, Belanda atau Presiden. b Pemimpin politik Perdana Menteri atau konselir diangkap berdasarkan dukungan parlemen. c Anggota parlemen dipilih untuk suatu periode tertentu berdasarkan pemilihan umum. Tanggal pemilihan umum ditentukan oleh Kepala negara formal atas persetujuan perdana menteri atau konselir. Dengan demikian sistem pemerintahan menggambarkan bagaimana cara mengatur, menata hubungan antara alat perlengkapan negara dalam rangka mencapai keinginan bangsa Indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpukan bahwa fungsi sistem pemerintahan antara lain 1 Sistem pencapaian cita-cita seluruh rakyat 2 pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan 3 bentuk interaksi kehidupan politik riil dalam negara 4 penerapan sistem politik Selanjutnya sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat pada bagan berikut ini. PM, Premier of Chancelor, Actual Executive Cabinet, Heads of Administrative Depart, Responsible to Prime Minister/Premier/Chan- cellor and or Lesgislature Dari bagan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa 1 terdapat prinsip penyebaran kekuasaan; 2 ada keseimbangan antara eksekutif dengan legislatif. Eksekutif dapat membubarkan legislatif dan sebaliknya, legislatif harus meletakkan jabatannya manakala kebijakan-kebijakan tidak didukung oleh mayority parlemen atau legislatif; 3 terdapat pertanggungan jawab bersama mutual responsibility antara Presiden dan Kabinet. Demikian sistem politik dan pemerintahan, dimana penggolongan hanya bersifat teoritis, sebab dalam prakteknya seringkali karakteristik sistem yang satu dipadukan dengan sistem lainnya. Namun demikian untuk membuat kajian dan perbandingan hal perlu dilakukan. G. Supra Struktur dan Infra Struktur Politik di Indonesia 1. Supra Struktur Politik. Supra struktur politik adalah kelembagaan negara yang terdapat dalam UUD yang berlaku di Indonesia. Lembaga kekuasaan negara itu mengalami perubahan dan perkembangan mengikuti perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Lembaga infra struktur politik adalah lembaga politik yang dibentuk oleh masyarakat atas dasar kebebasan warga negara dalam berorganisasi dan berserikat. Infra struktur politi itu dapat dibedakan kepada a. Partai politik, yaitu organisasi sosial politik yang anggotanya memiliki suatu haluan dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk berkuasaan melalui sistem pemilihan umum yang berlaku dalam negara. b. Organisasi masyarakat Ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM atau forum komunikasi politik yang dibentuk oleh masyarakat. Organisasi ini dibentuk oleh masyarakat dengan berbagai tujuan melakukan kegiatan dalam bidang sosial, budaya dan agama, serta tidak bergerak dalam politik praktis, seperti Muhammadyah dan Nahdathul Ulama NU. Supra struktur politik di Indonesia terjadi perubahan sesuai perkembangan konstitusi yang berlaku. Berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen, supra struktur politik Indonesia terdiri dari lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, yaitu 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Lembaga Tertinggi Negara yang memegang kedaulatan rakyat. 2 Lembaga Tinggi Negara, yaitu a Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. b Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang bersama Presiden dan sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. c Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan dalam bidang kehakiman yang tertinggi. d Badan pemeriksa Keuangan yang bertugas memeriksa keuangan yang dijalankan oleh pemerintah yang hasilnya dilaporkan kepada Dewan perwakilan Rakyat. e Dewan Pertimbang Agung yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan serta mengajukan usul dan saran kepada Presiden. Sedangkan Supra Struktur politik berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat RIS, 1949 adalah alat-alat perlengkapan negara federal, yaitu 1 Presiden, sebagai kepala negara. 2 Menteri Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. 3 Senat, sebagai perwakilan negara bagian. 4 Dewan perwakilan Rakyat sebagai wakil rakyat seluruh wilayah Indonesia. 5 Mahkamah Agung sebagai lembaga Yudikatif yang memegang kekuasaan kehakiman. 6 Dewan Pengawas Keuangan sebagai badan pemerinksa keuangan yang dijalan oleh pemerintah sesuai dengan APBN. Kelembagaan negara tersebut belum berjalan dengan sepenuhnya karena masa berlakunya Konstitusi RIS sangat singkat 1949-1950. Setelah kembali kepada bentuk negara kesatuan, maka Konstitusi RIS dirubah menjadi UUD Semntara 1950. dengan lembaga supra struktur politik adalah 1 Presiden dan Wakil Presiden yang berfungsi sebagai kepala negara. 2 Menteri-Menteri yang diketuai oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. 3 Dewan Perwakilan Rakyat DPR yang berfungsi sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang serta mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah bertanggung jawab kepada DPR. 4 Mahkamah Agung yaitu lembaga kekuasaan kehakiman yang tertinggi dalam negara. 5 Dewan Pengawas Keuangan, yaitu lembaga yang berwenang memeriksa keuangan negara yang dijalankan oleh pemerintah. Pada masa pemerintahan Orde lama supra struktur politik sesuai dengan UUD 1945, namun tidak dibentuk melalui pemilihan umum. Di samping itu, keenam lembaga negara dikendalikan sepenuhnya oleh kelembagaan Presiden. Lembaga lain sepeperti MPR, DPR dan MA di bawah kepemimpinan Presiden. Pada Masa Orde Baru lembaga tertinggi dan tinggi negara telah terbentuk melalui pemilihan umum yang berlangsung secara berkala 5 tahun sekali Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan sebanyak empat kali, pelaksanaan demokrasi berlandasan kepada pokok-pokok pemerintahan negara sebagai berikut 1 Negara Indonesia adalah negara hukum pasal 1 ayat 3 2 Kedaulatan ditangan rakyat dan dilasanakan menurut undang-undang dasar pasal 1 ayat 2 3 Majlelis Permusyawaratan Rakyat MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik dan memperhentikan Presiden menurut undang-undang dasar. pasal 3 4 Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih satu kali lagi lihat pasal 4 –7. 5 Presiden dapat diberhentikan MPR setelah diputuskan bersalah melanggar undang-undang dasar oleh Mahkamah Konstitusi. Presiden tidak dapat membekukan DPR pasal 7B dan C. 6 Presiden memegang kekuasaan sebagai kepada negara, membentuk Dewan Pertimbangan, mengangkat para menteri, membentuk dan membubarkan kementerian menurut undang-undang lihat pasal 10-17. 7 Pemerintah Daerah bersifat otonom yang diatur dengan undang-undang lihat pasal 18 dan 18A dan B. 8 DPR memegang kuasa membuat undang-undang, memiliki fungsi legislasi, anggran dan pengawasan pasal 20 dan 20A. 9 Dewan Perwakilan Daerah DPD mempunyai kekuasan membuat undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah pasal 22D. 10 Pemilihan Umum dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil LUBER-JURDIL, yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat mandiri. pasal 22E. 11 Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang bebas dan mandiri yang anggotanya dipilih oleh DPR dan dilantik oleh Presiden, serta mempunyai wakil di daerah-daerah. 12 Kekuasaan Kehakiman bersifat merdeka yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Lihat dan amatilah struktur kelembagaan negara kita setelah Perubahan UUD 1945 sebagai pelaksaan demokrasi di masa reformasi dan coba bandingkan dengan masa sebelumnya! Kelembagaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945 Legislatif Eksekutif Yudikatif 2. Infra Struktur Politik di Indonesia Menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang Partai Politik, yang dimaksuk Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Jadi tujuan partai politik adalah mengembangkan kehidupan demokrasi dan memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bernegara. Fungsi Partai Politik adalah a. Fungsi sosialisasi politik, yaitu melaksanakan pendidikan politik. b. Fungsi partisipasi politik, yaitu menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. c. Fungsi rekrutmen politik yaitu kegiatan mencari dan mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota dll. sesuai dengan mekanisme demokrasi. d. Fungsi pemandu kepentingan, yaitu lembaga demokrasi merupakan wahana kegiatan menyatakan dukungan dan tuntutan proses politik Kekuasan Kehakiman MK MA KY e. Fungsi komunikasi politik, menyalurkan informasi dan keinginan timbal balik antara rakyat dengan pemerintah. f. Fungsi pengendali konflik, yaitu turut memecahakan dan menyelesaikan perselisihan antara berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat. g. Fungsi kontrol politik, yaitu kegiatan mengontrol kekuatan yang dijalankan oleh pemerintah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Setiap negara mempunyai infra struktur politik yang berbeda-beda, di Indonesia secara umum terdiri atas 1. Partai Politik. Munculnya organisasi modern di awal abad kedua puluh yang ditandai dengan lahirnya pergerakan Budi Utomo, Serikat Islam dapat disebut sebagai pertanda lahirnya partai pertama di Indonesia, selanjutnya berdirilah partai-partai politik lain, Setelah kemerdekaan tradisi partai politik di Indonesia dimulai dengan munculnya usul yang diajukan oleh BPKNIP untuk berfungsi sebagai parlemen yang disampaikan kepada pemerintah. Usul itu menuntuk kepada pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luaskannya kepada masuyarakat mendirikan partai politik demi mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 3 Nopember 1945 keluarlah Maklumat Pemerintah yang ditandatangai oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Maka tumbulah partai politik seperti cendawan tumbuh, menurut Alfian partai politik tersebut dalam digolongan kepada a. Aliran nasionalis, yaitu PNI, PRN, PIR Hazairin, Parindra, Partai Buruh, SKI, PIR-Wongsonegoro dll. b. Partai Islam, seperti Masjumi, NU, PSII dan Perti c. Aliran Komunis, seperti PKI, SOBSI dan BTI d. Aliran Sosialis, sperti PSI, GTI dll. e. Aliran Kristen/Nasrani, sperti Partai Katolik dan Parkindo. Pegelompokan itu juga tak lepas dari kekuatan Jepang yang membagi aliran dalam politik Indonesia kepada golongan Nasional opportunis, Nasional Islam dan Komunis/Sosialis. Partai Politik di masa demokrasi Liberal pada tahun 1950an mendapat kesempatan secara bebas untuk masuk kepada pemerintahan, namun belum adanya partai yang memiliki dukungan nrakyat secara mayoritas, maka konflik-konflik dan pertentangan ideologi mulai memuncak. Setelah Pemilu 1955 ditemukan peta kekuatan politik, yaitu Partai beraliran nasionalis 27,6%, Beraliran Islam 45,2%, beraliran komunis 15,2% dan sisanya dari aliran Kristen dan Sosialis. Ekses negatif dari peranan partai politik masa demokrasi liberal adalah kedudukan pemerintah labil, kesempatan yang kurang bagi pemerintah untuk melaksanakan programnya, keputusan politik dilakukan melalui perhitungan voting, oposisi yang menampakan citra negatif dan iklim kebabasan membuka peluang terbentuknya partai-partai baru. Partai politik di masa demokrasi terpimpin Orde lama memberikan kesempatan kepada Presiden Sukarno dan Militer serta Partai Komunis untuk lebih berkuasa, hal ini disebabkan oleh kestabilan nasional yang terganggu sehingga Presiden mengeluarkan pengumunan negara dalam keadaan perang SOB. Pada pemerintahan Sukarno ada kecenderungan untuk menguburkan partai politik termasuk PNI yang didirikannya karena selalu menimbulkan konflik. Besarnya pengaruh Sukarno sehingga partai politik tidak berdaya, akan tetapi demokrasi terpimpin yang dilaksanakan ternyata yang ada hanya terpinpinnya saja, sedangkan demokrasinya hilang.. Partai politik di masa Orde Baru, kegagalan G30S/PKI telah mengakhiri demokrasi terpimpin. Orde Baru melakukan pembaharuan politik. Pemilu 1971 terbentuk peta politik 9 partai politik dan satu Golkar, yaitu Golkar 62,8%, NU 18,67%, Parmusi 7,36%, PNI 6,94%, PSII 2,39%, Parkindo 1,34%, Katholik 1,11% dan Perti 0,7%.. Orde Baru cenderung memisahkan politik dengan ekonomi, keterlibatan ABRI dalam politik erat kaitannya dengan Dwi Fungsi dimana peranan kaum sipil kurang mampu mengatasi krisis, Golkar merupakan kepanjangan tangan militer di lembaga sipil sehingga kedudukan partai politik semakin terdesak. Di samping itu Golkar dengan dukungan militer memobilisasi organisasi fungsional masyarakat untuk mendukungnya sehingga semakin melemahnya posisi partai politik. Semenjak Pemilu 1977 partai politik disederhanakan menjadi dua PPP dan PDI dan Golkar, kemudian pada pemilu 1987 semua partai harus berasaskan Pancasila sehingga PPP yang beraliran Islam ditinggalkan banyak pendukung tradisonalnya, sedangkan kelompok kritis yang menghendaki pembaharuan politik mulai mendukung PDI. Partai politik di masa Reformasi 1998, telah membuka peluang masyarakat mendirikan partai, sehingga menghadapi Pemilu 1999 hadir partai politik sebanyak 48 Partai, namun tidak satu mencapai kursi mayoritas, diantara lima besar adalah PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB dan PAN. Suatu hal masih belum berubah dalam budaya politik Indonesia adalah masih kuatnya budaya politik primordial, masyarakat masih menggantungkan aspirasi politiknya kepada tokoh karsimatik sehingga alam kebebasan belum dapat membuka jalan kearah demokratisasi. Dalam menghadapai pemilihan umum tahun 2004 jumlah partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum sudah berkurang, yaitu 24 partai politik. Namun tidak ada partai yang menguasai mayoritas di DPR, terdapat beberapa partai yang mempunyai dukungan yang cukup untuk lolos ke pemilihan umum 2009, yaitu Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. 2. Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam suatu sistem politik negara modern yang bersifat demokratis usaha untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat secara efektif dan efesian adalah melalui pengorganisasian aspirasi masyrakat yang dapat dibedakan atas a. Organisasi yang memngkhususkan diri berperan dalam menentukan keputusan-keputusan kenegaraan di lembaga perwakilan DPR yang kemudian disebut partai politik. b. Organisasi yang memperlancar pelaksanaan aspirasi masyarakat dalam salah satu aspek kehidupan yang kemudian disebut organisasi non-politik atau disebut juga sebagai lembaga Swadaya Masyarakat. LSM. LSM secara luas meliputi seluruh Organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara indonesia untuk berperan serta di dalam sistem politik negara. Pada hakikatnya LSM tidak memiliki aktifitas politik secara langsung di lembaga perwakilan rakyat. Namun secara tidak langsung LSM dapat mempunyai hubungan komunikasi politik dengan DPR sesuai dengan bidang kegiatanya. Dalam suatu istilah yang umum LSM disebut sebagai kelompok penekan Pressure group, yaitu kelompok yang secara formal tidak berperan dalam kegiatan politik praktis, namun tetap melaksanakan kegiatan politik itu secara tidak alngsung. Dalam suatu masyarakat demokrasi liberal kelompok penekan itu adalah golongan kepentingan interst group yang keinginan agar kepentingannya tetap diperhatikan dalam pengambilan keputusan kenegaraan. Dalam negara semenjak reformasi LSM secara bebas mempengaruhi DPR dalam pengabilan keputusan, seperti banyak LSM atau organisasi masyasrakat melakukan pendekatan ke DPR dan bahkan melakukan unjuk rasa agar kepentingannya diakomodir dalam penbuatan undang-undang. Maraknya demonstrasi pro dan kontar pada tahun 2005 terhadap rancangan undang-undang Anti Porno grafi dan Porno aksi yang akan diputuskan di DPR adalah karena dukungan atau tekanan dari kepentingan LSM dalam masyarakat. Dalam suatu negara demokrasi LSM dapat menjadi ujung tombak perubahan sistem politik suatu negara, karena dia berhubungan secara langsung dengan aspirasi masyarakat. Beberapa faktor yang menyebabkan LSM lebih dekat dengan aspirasi masyarakat adalah a. Pembentukan LSM tidak membutukan persyaratan yang lebih ketat seperti pembentukan Parti Politik, khususnya dari segi jumlah keanggotaan. b. Kegiatan LSM sangat bersentuhan dengan kegiatan sehari-hari dalam masyarakat, seperti LSM yang bergerak dalam amal sosial. c. LSM memiliki akar budaya yang lebih kuat di dalam struktur masyarakat. d. LSM dalam masyarakat Indonesia lebih otonom, dapat hidup dalam rejim pemerintahan yang berbeda. Cobalah amati organisasi masyarakat Muhammadiyah yang dirikan oleh Ahmad Dahlan pada zaman Belanda, masih tetap kuat samapi saat ini karena suatu LSM yang besar dan otonom yang tidak tergantung kepada irama kekuasaan pemerintahan. Begitu juga Nahdatul Ulama dengan jumlah anggotanya puluhan juta yang juga dirikan semenjak zaman Belanda , tetap kuat sampai saat ini karena sifat otonom dan berakar dalam sistem budaya dan kepercayaan masyarakat. Kedua organisasi masyarakat ini secara tidak langsung tidak terlibat dalam kegiatan politik, namun anggotanya adalah elit politik di dalam partai dan DPR, sehingga kepentingannya secara tidak langsung dapat mewarnai keputusan-keputusan politik yang dibuat dalam lembaga legislatif DPR. Dalam masyarakat demokratis menjamurnya jumlah LSM sebagai perwujudan dari kebebasan seseorang warga negara dalam berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lissan dan tulisan, sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945. dalam masyarakat Indonesia LSM tumbuh dan berkembang suatu dengan bidang kegiatannya, seperti bidang kegiatan keagamaan dan sosial, bidang perburuhan, bidang lingkungan, pendidikan dan sebagainya. Berikut ini jenis-jenis kegiatan LSM, yaitu a. Organisasi profesi, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia, PGRI , Persatuan Wartawan Indonesia PWI, Persatuan Insinyur Indonesia PII, Persatuan Dokter Indonesia PDI dll. b. Organisasi Para Pekerja, sperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. SPSI. c. Asosiasi Veteran, seperti Legium Veteran Republik Indonesia. d. Gerakan Pemuda, seperti Komite Nasional Indonesia Pusat KNPI, Himpunan Mahasiswa Islam HMI dll. e. Gerakan Wanita, seperti Komite Wanita Indonesia Kowani. f. Kelompok Ideologi dan agama, seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadyah. H. Peran serta dan orientasi politik rakyat terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengaruh sikap dan orientasi politik rakyat terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam realitasnya tidak bisa terlepas dari budaya politik yang berkembang di masyarakat sesuai dengan masanya. Walaupun dewasa ini sudah banyak negara yang menanggalkan sistem politik yang dianggap tidak cocok, namun dalam prakteknya perilaku dan sikap para elit politik dan pejabat negara masih ada yang menerapkan budaya-budaya politik yang ada dan pernah ada. Ketika Suharto berkuasa, budaya politik ā€œ sendiko dawuhā€, ā€œ atas petunjuk bapak.....ā€ seakan sudah melekat pada sikap dan perilaku elit politik dan pejabat negara saat itu. Hal ini disebabkan oleh kekuatan tertentu yang dimiliki penguasa saat itu, seperti kharismatik, kekuatan penguasa yang didukung oleh militer, kaum cendekiawan, kaum pengusaha/kapitalis dan mungkin rakyat karena tekanan secara formal maupun non formal. Sehingga sikap dan orientasi politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti kemauan para penguasa dan elit politik pengambil keputusan negara. Hal ini bisa didukung sepenuhnya oleh rakyat, karena ekonomi rakyat saat itu mampu memberikan kesejahteraan, keamanan dan rasa tentram. . Selanjutnya seperti kita dengar sebelum pidato kenegaraan menjelang tanggal 17 Agustus 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, elit politik yaitu Megawati menegaskan kepada elit politik dan kader-kadernya untuk tidak menggunakan interupsi ketika pidato kenegaraan walaupun itu dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat dipatuhi penuh oleh para elit politik dan kader-kadernya, siapa melanggar seakan melawan terhadap elit politik di atasnya. Ini menunjukkan bahwa pengaruh dan sikap politik rakyat para kader-kader masih mengikuti pola politik kaula. Namun juga perlu disadari bahwa pola semacam itu sifatnya komtemporer, tidak tetap dan selalu berubah-ubah karena situasi dan kondisi. Dengan demikian pengaruh sikap dan orientasi rakyat Indonesia terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih tunduk pada instruksi elit politik. Hal ini bisa tejadi karena dipengaruhi oleh budaya politik keningratan ā€ewuh pakewuh ā€ atau ā€ sungkanismā€, yaitu suatu sikap politik yang apabila berbeda pendapat, hanya disimpan, tidak berani berbicara/mengemukakan pendapat dan apabila berani dianggap perlawanan/pembangkangan. Tentu saja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di era demokrasi justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bahmueller dalam Untari 2006, bahwa tegaknya demokrasi dipengaruhi oleh 1 faktor ekonomi, 2 sosial dan politik, serta 3 budaya dan sejarah. BAB III KESIMPULAN Sistem politik ialah kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan yang berhubung-hubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan secara melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain dengan negara dan hubungan negara dengan negara. Sistem pemerintahan ialah suatu sistem yang membicarakan bagaimana hubungan lembaga negara dari suatu pemerintahan. Secara umum alat perlengkapan lembaga negara meliputi 1 lembaga legislatif, 2 eksekutif, 3 yudikatif dan 4 lembaga lain yang merupakan alat perlengkapan negara seperti BPK, KPU, Komisi Yudisial, dsb. Dengan demikian disimpulkan bahwa sistem pemerintahan terkait dengan sistem politik, mengingat sistem politik terkait dengan 1 sistem pemerintahan dan 2 sistem kekuasaan. yang mengatur hubungan antara individu-individu atau kelompok individu yang satu dengan lainnya dan dengan negara serta hubungan negara dengan negara. DAFTAR PUSTAKA. Adisubrata, Winarna Surya, 2002. Etika Pemerintahan. Yogjakarta UPP AMP YKPN. Alhaj, dkk. 2001. Pendidikan Pancasila. Jakarta Univeritas Terbuka. Easton, David, 1965. A Sistem Analysis of Political Life. Ohn Wiley & Sons Inc., New York – London – Sidney. Kantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta Sinar Baru Algesindo. Lab IPS & PMP, 1991. Tata Negara, Jilid 2. Malang PPPG IPS dan PMP Malang. Laboratorium Pancasila, 2001, Bangsa Indonesia Dalam Dinamika Reofrmasi. Harapan dan Tantangan. Malang Universitas Negeri Malang. Mas’oed, Mohtar, 1986. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta Gajah Mada University Press. Sukarna, 1979. Sistem Poltik. Bandung Alumni. Syafiie, Inu Kencana, 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta Rineka Cipta. ... The political system is a principle and mechanism that forms an interconnected unity to regulate government and maintain power by regulating the relationship between individuals or groups with state relations [1]. Besides that politics can also be interpreted as an effort taken by citizens to realize the common good. ...... Simple Additive Weight method requires the decision matrix normalization process X to a scale that can be compared with all available alternative ratings. The formula for normalization is as follows 1 where ij r = Normalized performance rating The process of searching data from the criteria needed to determine the vice presidential candidate is done by creating an online questionnaire form using Google docs media. The questionnaire form was distributed through WhatsApp applications so that it was expected that many parties could fill out the questionnaire and could also be known to the anime or public interest in determining the vice presidential candidate for the 2019-2024 period. ...... Then the process of entering each value and criterion into a table is obtained so that the matrix table is found in Table IV. The process of finding a normalized matrix is done by normalizing the matrix X based on equation 1. Then the values of normalization of benefits become r1,1 = 8 / max{5;5;5;5;5} = 8 / 5 = r1,2 = 4 / max{5;5;5;5;5} = 4 / 5 = r1,3 = 8 / max{5;5;5;5;5} = 8 / 5 = r1,4 = 4 / max{5;5;5;5;5} = 8 / 5 = r1,5 = 8 / max{5;5;5;5;5} = 4 / 5 = ...Simple Additive Weighting SAW method is a method that can be applied in the process of selecting candidates for vice presidential candidates for the period 2019-2024. Determining the criteria, weight, and the alternative of each person is different-this makes the decision very difficult to do, requires a lot of choice, time and cost. The purpose of the research conducted is to provide a choice of solutions or considerations in selecting a vice presidential candidate in determining the best deputy leader in accordance with the needs and desires of the community. Accuracy in the provisions of the criteria for selecting a vice presidential candidate is necessary because some of the candidates who run for vice president are not well known to the public, and some do not meet the requirements of the criteria to become a vice presidential candidate. For the registration of presidential candidates in the KPU, it is still on 4-10 August 2018, but it is estimated that the strongest candidates are Joko Widodo and Prabowo Subianto, therefore here we will predict who can be the vice presidential candidate from Joko Widodo and Prabowo Subianto camp by using the SAW method, it is useful to know the weight of each criterion as the parameters of the vice presidential Politik Indonesia. Jakarta Sinar Baru AlgesindoRusadi KantaprawiraKantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta Sinar Baru Indonesia Dalam Dinamika ReofrmasiLaboratorium PancasilaLaboratorium Pancasila, 2001, Bangsa Indonesia Dalam Dinamika Reofrmasi. Harapan dan Tantangan. Malang Universitas Negeri Sistem PolitikMohtar Mas'oedMas'oed, Mohtar, 1986. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta Gajah Mada University Pemerintahan Indonesia. Jakarta Rineka CiptaInu SyafiieKencanaSyafiie, Inu Kencana, 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta Rineka AlhajAlhaj, dkk. 2001. Pendidikan Pancasila. Jakarta Univeritas Poltik. Bandung AlumniSukarnaSukarna, 1979. Sistem Poltik. Bandung Alumni.
Sistempolitik adalah sistem yang mengatur atau mengelola kekuasaan dalam negara dan mempertahankan kedudukan dari sebuah kekuasaan dalam negara. Sistem tersebut juga mengatur hubungan pemerintah dengan warga negaranya, negara dengan negara, atau rakyat dengan rakyatnya. 4. Sukarno.
This study raises the issue of the influence of political connections and managerial ownership structures on firm value based on the phenomenon of political connection practices that occur in manufacturing companies in Indonesia. This study aims to analyze and obtain empirical evidence of the influence of political connections and managerial ownership structures on the value of the company where the long-term goals of the formation of companies to maximize the value of the company by increasing the prosperity of the owner or shareholders. This research sample uses secondary data derived from the financial statements of manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange in 2012-2016. Samples were taken using purposive sampling and that met the sample selection criteria. The sample used was 87 companies. Data is processed with Eviews 9 software using the General Least Square GLS method. The results of the study show that political connections have a positive positive effect on company value. While the managerial ownership structure does not have a significant effect on firm value. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 1 PENGARUH KONEKSI POLITIK DAN STRUKTUR KEPEMILIKAN MANAJERIAL TERHADAP NILAI PERUSAHAAN Ahmad Maulana1, Lela Nurlela Wati2 1STIE Muhammadiyah Jakarta, ahmadmaulanayusuf120770 2 STIE Muhammadiyah Jakarta, lela ABSTRAK Penelitian ini mengangkat isu Pengaruh koneksi politik dan struktur kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan berdasarkan fenomena praktik koneksi politik yang terjadi pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang berada di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memperoleh bukti empiris pengaruh koneksi politik dan struktur kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan dimana tujuan jangka panjang dari dibentuknya perusahaan untuk memaksimalkan nilai perusahaan dengan meningkatkan kemakmuran pemilik atau pemegang saham. Sampel penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012-2016. Sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling dan yang memenuhi kriteria pemilihan sampel. Sampel yang digunakan sebanyak 87 perusahaan. Data diolah dengan software Eviews 9 menggunakan metode General Least Square GLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koneksi politik memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan struktur kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Kata kunci Koneksi Politik, Kepemilikan Manajerial, Nilai Perusahaan ABSTRACT This study raises the issue of the influence of political connections and managerial ownership structures on firm value based on the phenomenon of political connection practices that occur in manufacturing companies in Indonesia. This study aims to analyze and obtain empirical evidence of the influence of political connections and managerial ownership structures on the value of the company where the long-term goals of the formation of companies to maximize the value of the company by increasing the prosperity of the owner or shareholders. This research sample uses secondary data derived from the financial statements of manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange in 2012-2016. Samples were taken using purposive sampling and that met the sample selection criteria. The sample used was 87 companies. Data is processed with Eviews 9 software using the General Least Square GLS method. The results of the study show that political connections have a positive positive effect on company value. While the managerial ownership structure does not have a significant effect on firm value. Keywords Political Connections, Managerial Ownership, Corporate Values p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 2 PENDAHULUAN Indonesia merupakan laboratorium penelitian yang menarik untuk manganalisis pengaruh koneksi politik dan kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan, karena beberapa alasan. Salah satunya adalah, Indonesia negara dari pasar modal yang baru berkembang dan cenderung tersegmentasi dari pasar modal dunia Cheung dan Lee, 2003. Nilai perusahaan yang tinggi menunjukkan prestasi kinerja yang baik sehingga menjadi keinginan para pemiliknya. Semakin tinggi nilai perusahaan, semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik perusahaan, untuk itu semakin tinggi nilai perusahaan, maka akan semakin menarik pihak luar untuk berinvestasi pada suatu peusahaan Wiagustini, 2013. Naik turunnya nilai perusahaan salah satunya dipengaruhi oleh struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan sangat penting dalam menentukan nilai perusahaan. Dua aspek yang perlu dipertimbangkan ialah 1 konsentrasi kepemilikan perusahaan oleh pihak luar outsider ownership concentration dan 2 kepemilikan perusahaan oleh manajemen management ownership. Pemilik perusahaan dari pihak luar berbeda dengan manajer karena kecil kemungkinannya pemilik dari pihak luar terlibat dalam urusan bisnis perusahaan sehari-hari Sri Rejeki, 2007. Perusahaan yang terkoneksi politik lebih umum dijumpai pada negara yang memiliki perlindungan hukum yang lemah terhadap investor dan memiliki tingkat korupsi yang tinggi Faccio, 2006. Bukti empiris mengenai peryataan ini dapat ditemukan pada penelitian Faccio 2006 yang melakukan penelitian cross-country mengenai hubungan politikyang duimiliki perusahaan dan menemukan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan politik memang lebih lazim ditemukan pada negara dengan level korupsi yang tinggi dan sistem hukum yang lemah. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki konsentrasi hubungan politik tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain Faccio, 2006. Wati 2017 mendukung temuan Facio 2006, dimana koneksi politik di perusahaan konglomerasi di Indonesia dapat meningkatkan kinerja perusahaan baik jangka pendek maupun jangka Panjang. Bukti empiris ini menunjukkan bahwa koneksi politik masih relevan pada perusahaan Indonesia. Terlebih lagi, pada dekade terakhir, semakin banyak berita terkait korupsi birokrasi yang melibatkan pemerintah, perusahaan, dan partai politik yang diangkat keranah umum. Hal ini semakin memperkuat adanya tujuan tersendiri yang bersifat politis saat koneksi politik masuk dalam perusahaan. Fakta bahwa Indonesia adalah Negara multipartai juga membuat adanya perspektif partai yang harus dikaji. Banyak perusahaan yang memiliki koneksi politik dengan partai politik karena personil partai juga menjabat atau memiliki kepentingan yang cukup besar pada perusahaan terkait. Politisi dan atau figur pemerintah menjaga kepentingan dengan perusahaan tersebut untuk mengendalikan perusahaan demi mencapai tujuan mereka dan tentunya memberi timbal balik kepada para pendukung politik Bliss dan Gul, 2011. Fenomena lainnya yang menarik tentang koneksi politik yaitu fenomena kenaikan harga-harga saham pada perusahaan terkoneksi politik pada pemilu 2009 dan 2014. Terdapat indikasi peningkatan nilai pasar konglomerat yang memiliki koneksi politik dengan pemenang pemilihan partai dan Presiden, terutama di perusahaan besar dan perusahaan milik negara Wati et. al., 2016. Nilai kapitalisasi pasar konglomerat meningkat secara signifikan pasca pemilihan baik pada tahun 2009 atau pada tahun 2014. Peningkatan harga saham perusahaan menunjukkan bahwa para pengusaha dan pemimpin perusahaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan tingkat korupsi yang masih tinggi, masih meyakini bahwa koneksi politik menyediakan pelumas untuk mencapai tujuan perusahaan, sehingga mereka melakukan upaya signifikan untuk membina koneksi politik dalam rangka mencapai pertumbuhan perusahaan, mereka menyadari bahwa koneksi politik adalah sumber daya berharga untuk perusahaan Wati et al., 2016; Li et al., 2012. Fenomena lainnya dalam banyak kasus di Indonesia dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan akan muncul konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham pemilik perusahaan yang sering disebut agency problem. Tidak jarang pihak manajemen yaitu manajer perusahaan mempunyai tujuan dan kepentingan lain yang bertentangan dengan tujuan utama p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 3 perusahaan dan sering mengabaikan kepentingan pemegang saham. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini terjadi karena manajer lebih mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan Wati, 2016. Fenomena dalam banyak kasus di Indonesia, kepemilikan saham terbesar pada suatu perusahaan terkosentrasi pada kepemilikan keluarga. Shleifer dan Vishny 1986 berpendapat bahwa konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan dan hubungannya tidak linear. Dijelaskan dalam penelitiannya bahwa kepemilikan yang tersebar menghasilkan masalah free-rider dan membuat manajer semakin sulit dalam melakukan monitoring. Temuan ini menjelaskan bahwa, pada negara dengan kepemilikan tak terkonsentrasi, peningkatan pada konsentrasi kepemilikan akan menyelesaikan masalah free-rider dan monitoring sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Namun ketika konsentrasi kepemilikan semakin tinggi, akan memunculkan Agency Problem antara Majority Shareholder dan Minority Shareholder. Jika konsentrasi kepemilikan terlalu tinggi, maka Majority Shareholder dapat melakukan pengambilalihan atau penyalahgunaan asset. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji pengaruh konsentrasi kepemilikan perusahaan di Indonesia, dan hubungannya terhadap nilai perusahaan. Perusahaan di Indonesia terbagi menjadi dua kategori perusahaan, yaitu perusahaan yang dimiliki oleh negara BUMN dan Perusahaan swasta. Rahmani 2004 menyatakan bahwa BUMN yang terdapat di Indonesia kekurangan insentif dan pengawasan. Melihat hasil penelitiannya yang mengambil sampel perusahaan di China, dapat disimpulkan bahwa pada perusahaan dengan ultimate owner-nya, pemerintah dapat dengan bebas mengendalikan strategi manajemen sesuai dengan kepentingannya dan bahkan tak jarang melakukan Asset Tunneling dari perusahaan tersebut untuk kepentingan pemerintah, namun menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia per Juni 2011, 18 BUMN dari 428 emiten menyumbang 25,9% dari total kapitalisasi pasar. Hal ini menarik karena perusahaan kepemilikan pemerintah yang disebutkan memiliki kinerja yang cenderung negatif ternyata memiliki kapitalisasi pasar yang besar di dalam Bursa Efek Indonesia. Bukti empiris mengenai pengaruh Struktur Kepemilikan saham manajerial pada Nilai Perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Nurlela dan Islahuddin 2008, Wahyudi dan Pawestri 2006, serta Haruman 2008 menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Barclay dan Holderness 1990 menemukan bahwa tingkat kepemilikan institusional berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Purba 2004 menemukan bahwa besarnya proporsi saham publik memiliki hubungan relasi yang positif dengan kinerja perusahaan yang berimbas pada nilai perusahaan. Hasil yang berbeda didapati oleh Sujoko dan Soebiantoro 2007. menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Begitu pula Sofyaningsih dan Hardiningsih 2011 yang tidak dapat membukti kan pengaruh kepemilikan institusional pada nilai perusahaan, serta Soepriyanto 2004 dalam Sofyaningsih dan Hardiningsih 2011 menemukan bukti bahwa Kepemilikan Publik tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. KAJIAN LITERATUR Teori Agensi Teori keagenan menjelaskan mengenai hubungan antara pemegang saham sebagai principal dan manajemen sebagai agen. Dalam mengelola suatu perusahaan pemegang saham mengontrak agen manajemen untuk bekerja mengelola perusahaan demi kepentingan pemegang saham. Pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada struktur kepemilikan. Menurut penelitian Jensen dan Meckling 1976 hubungan keagenan merupakan suatu hubungan dimana pemilik perusahaan principle mempercayakan pengelolaan perusahaan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 4 oleh orang lain yaitu manajer agent sesuai dengan kepentingan pemilik principle dengan mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada manajer agent. Manajer dalam menjalankan perusahaan mempunyai kewajiban untuk mengelola perusahaan sebagaimana diamanahkan oleh pemilik principle yaitu meningkatkan kemakmuran prinsipal melalui peningkatan nilai perusahaan, sebagai imbalannya manajer agent akan mendapatkan gaji, bonus atau kompensasi lainnya. Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal. Pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran kepada para pemilik modal, sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Hal ini menyebabkan timbul konflik antara manajemen dengan pemilik karena masing-masing akan memenuhi kepentingannya sendiri opportunistic behavioral. Pemilik akan mengeluarkan biaya monitoring untuk mengawasi kinerja manajemen. Dasar dari teori agensi dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan kepentingan antara agen dan principal untuk memaksimumkan kesejahteraannya masing-masing. Nilai Perusahaan Nilai perusahaan mencerminkan tingkat kesejahteraan perusahaan tersebut. Semakin tinggi nilainya maka akan semakin tinggi juga pandangan masyarakat terhadap tingkat kesejahteraan perusahaan tersebut. Untuk mengukur nilai perusahaan digunakan metode yang dikenal dengan nama Tobin;s Q. Tobin’s Q sendiri adalah suatu instrument yang dikembangkan oleh professor James Tobin yang menunjukan estimasi pasar keuangan saat ini atas tiap pengembalian dari investasi. Tobin’s Q dihitung dengan menggunakan persamaan matematika sebagai berikut īœ¶ī‹īœ¾ī…īŠļ‡±īœ³īµŒļˆ¼ļˆŗī®¼īÆ‰īÆ«ī€ƒīÆƒīÆØīÆ īÆŸīÆ”īÆ›ī€ƒīÆŒīÆ”īÆ›īÆ”īÆ ļˆ»ī¬¾īÆīÆ…ī¬¾īÆ‚ļˆ»ļˆ½ī¬æī®¼ī®ŗī­˜ī­…ī‡¤ī‡¤ī‡¤Dimana CP = Closing Price TL = Total Liabilities I = Inventory CA = Current Assets TA = Total Assets Koneksi Politik Variabel koneksi politik dalam penelitian ini yaitu perusahaan terkoneksi politik apabila sedikitnya salah satu anggota dari Dewan Komisaris yang menjabat ataupun sudah tidak menjabat sebagai pejabat pemerintahan Negara meliputi lembaga-lembaga eksekutif Kementerian Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan organisasi pemerintah pusat lainnya, lembaga legislatif badan-badan perwakilan rakyat, lembaga yudikatif badan-badan peradilan dan lembaga-lembaga lainnya yang diperlukan dalam tatanan Negara. Pada penelitian yang dilakukan Kozlowski, Jackowicz, Mielcarz 2014. Hubungan politik perusahaan, perusahaan dikatakan memiliki koneksi politik jika paling tidak salah satu dari pimpinan perusahaan dewan komisaris atau dewan direksi, pemegang saham mayoritas atau kerabat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat tinggi negara, anggota parlemen atau dekat dengan politisi atau partai politik, digunakan variable dhummy untuk menggambarkan koneksi politik, yaitu dengan memberi angka 1 bagi perusahaan yang terkoneksi politik dan angka 0 bagi perusahaan yang tidak terkoneksi politik. Perusahaan memiliki hubungan politik yaitu 1. Dewan direksi dan/atau dewan komisaris rangkap jabatan sebagai pejabat pemerintah. 2. Dewan direksi dan /atau komisaris merupakan mantan pejabat pemerintah. 3. Pemilik perusahaan atau pemegang saham merupakan politisi pejabat pemerintah atau mantan pejabat pemerintah. 4. Pemilik perusahaan atau pemegang saham memiliki hubungan kedekatan dengan politisi/partai politik, pejabat pemerintah, atau mantan pejabat pemerintah. Mengacu pada penelitian Faccio 2006. p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 5 Struktur Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan porsi outstanding share yang dimiliki oleh investor terhadap jumlah seluruh modal saham yang beredar. pemilik memiliki kewenangan yang besar untuk memilih siapa-siapa yang akan duduk dalam manajemen yang selanjutnya akan menentukan arah kebijakan bank tersebut ke depan. Dalam penelitian ini kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki institusi dari seluruh modal saham yang beredar di pasar saham īœ­īīŒīī‰ī…īˆī…ī‡īœ½īŠ ManajerialMANAJ = ī­Žī­³ī­«ī­Ŗī­Ÿī­¦ī€ƒī­—ī­Ÿī­¦ī­Ÿī­«ī€ƒī­«ī­Ÿī­¬ī­Ÿī­Øī­£ī­°ī­§ī­Ÿī­Ŗī­Žī­³ī­«ī­Ŗī­Ÿī­¦ī€ƒī­—ī­Ÿī­¦ī­Ÿī­«ī€ƒī­ ī­£ī­°ī­£ī­¢ī­Ÿī­°ī€ƒī­¢ī­§ī€ƒī­®ī­Ÿī­±ī­Ÿī­°ī‡¤x100 Variabel Kontrol Usia Perusahaan Variabel umur perusahaan atau firm age dapat dinilai yaitu dengan melihat tanggal pendiriannya maupun dari tanggal terdaftarnya di BEI atau saat perusahaan melakukan innital public offering IPO. Umur perusahaan dalam penelitian ini menggunakan umur perusahaan dari tanggal perusahaan terdaftar di bursa efek. Hal ini dikarenakan, pada saat suatu perusahaan sudah terdaftar dibursa efek Indonesia dan go public. Maka perusahaan harus mempublikasikan pelaporan tahunan mereka kepada masyarakat dan pemakaian laporan tahunan agar informasi yang terkandung didalamnya dapat segera digunakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan tersebut. Age = Tahun penelitian – First Issued di BEI Pengembangan Hipotesis Penelitian yang mendukung adanya hubungan antara koneksi politik dengan nilai perusahaan adalah Zhang, 2010 Keuntungan lain yang di dapat oleh perusahaan yang berkoneksi politik adalah akses yang lebih mudah untuk pembiayaan hutang, pajak yang lebih rendah, dan kekuatan pasar yang lebih kuat. Zhang et, al. memberikan contoh dari hasil laporan penelitiannya bahwa bankir sering dipaksa untuk memberikan pinjaman bagi proyek-proyek yang dilakukan oleh perusahaan yang berkoneksi politik meskipun proyek tersebut diperkirakan tidak menguntungkan. Hubungan politik perusahaan pada dasarnya memberikan dampak yang signifikan bagi aktivitas ekonomi perusahaan. Fisman 2001 mengemukakan bahwa hubungan politik dapat menjadi sumber daya perusahaan yang berharga bila diasosiasikan dengan nilai reputasi dan fungi proteksi yang dibangun karena adanya hubungan politik tersebut. Adapun berbagai motivasi yang ingin dicapai oleh perusahaan dengan dibangunnya hubungan politik, diantaranya adalah memperkuat posisi perusahaan diantara para kompetitornya Bushman & Piotroski, 2006, menghindari peraturan yang ketat yaitu dengan cara menurunkan banyak kontrak Fisman, 2001. Sedangkan hasil penelitian Fan et al. 2004 melaporkan hasil yang berbeda pada hasil penelitiannya bahwa perusahaan yang memiliki CEO berkoneksi politik memiliki kinerja yang lebih rendah sekitar 37% tentunya berdampak pada nilai perusahaan. Perusahaan yang memiliki hubungan politik sering diasosiasikan dengan kualitas pelaporan akuntansi yang rendah Chaney et al, 2011. Perusahaan yang memiliki hubungan politik juga cenderung memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingankan dengan perusahaan lain Faccio, 2006. Hal ini terjadi karena manager pada perusahaan yang memiliki hubungan politik tidak mempunyai insentif untuk meningkatkan transparansi, dan hanya peduli pada perolehan keuntungan pribadi yang terkadang mengorbankan stakeholder lainnya Faccio, 2006. Peningkatan harga saham perusahaan menunjukkan bahwa para pengusaha dan pemimpin perusahaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan tingkat korupsi yang masih tinggi, masih meyakini bahwa koneksi politik menyediakan pelumas untuk mencapai tujuan perusahaan, sehingga mereka melakukan upaya signifikan untuk membina koneksi politik dalam p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 6 rangka mencapai pertumbuhan perusahaan, mereka menyadari bahwa koneksi politik adalah sumber daya berharga untuk perusahaan Wati et al., 2016; Li et al., 2012. Wati 2017 memberikan bukti empiris bahwa koneksi politik memberikan dampak positif terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka hipotesisnya adalah sebagi berikut H1 Koneksi politik berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan Bukti empiris mengenai pengaruh struktur kepemilikan manajerial pada nilai perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Nurlela dan Islahuddin 2008, Wahyudi dan Pawestri 2006, serta Haruman 2008 menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Barclay dan Holderness 1990 menemukan bahwa tingkat kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Purba 2004 menemukan bahwa besarnya proporsi saham publik memiliki hubungan relasi yang positif dengan kinerja perusahaan yang berimbas pada nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka hipotesisnya adalah sebagi berikut H2 Pemegang saham manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan KERANGKA PIKIR Penelitian ini menguji pengaruh dua variabel independen, yaitu koneksi politik dan pemegang saham pengendali terhadap nilai perusahaan, serta menguji dengan menggunakan, Age, sebagai variabel kontrol. Berdasarkan hubungan tersebut maka kerangka penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut H1 H2 Gambar 1. Kerangka Pikir METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang annual report dari tahun 2012 sampai dengan 2016. Alasan memilih perusahaan manufaktur sebagai objek penelitian karena perusahaan bergerak di sektor riil. Selain itu sektor manufaktur merupakan emiten terbesar perusahaan dibandingkan sektor lainnya. Jumlah perusahaan manufaktur yang listed di BEI tahun Struktur Kepemilikan Manajerial Firm Age Usia perusahaan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 7 2016 sebanyak 135 perusahaan, namun setelah diseleksi berdasarkan kriteria yang ditetapkan maka diperoleh sampel akhir sebanyak 87 perusahaan. Tabel 1 Data Kriteria Sampel Perusahaan Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI Perusahaan dengan annual report tidak lengkap Perusahaan yang sahamnya tidak aktif selama periode penelitian Sumber Data diolah 2018 Dalam penelitian ini dapat dibentuk persamaan Model Penelitian Tobins’Q = α + β1KPit + β2MANAJ + β3Firm Ageit + e Dimana = Tahun penelitian – First Issued di BEI = Pengukuran Nilai Perusahaan ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Tabel 2 Daftar Hasil Penelitian Sumber Data diolah, 2018 Berdasarkan data pada tabel 2 di atas, terlihat bahwa nilai minimum Tobin’s Q sebesar 0,1881 dan maksimum sebesar Sementara nilai standard deviasi Tobin’s Q sebesar sebesar 2,5454, dengan nilai rata-rata Tobin’s Q yang dimiliki perusahaan manufaktur periode 2012-2016 adalah 1,9194. Nilai terendah dimiliki oleh PT. Delta Djakarta Tbk pada tahun 2016, dan yang tertinggi PT. Unilever IndonesiaTbk pada tahun 2015. Tobin’s Q yang memiliki nilai lebih dari satu mempunyai makna bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba dengan tingkat return yang sesuai dengan harga perolehan asetnya-asetnya. Nilai koneksi politik minimum sebesar 0 dan maksimum sebesar 1. Sementara nilai rata-rata Koneksi politik sebesar dan nilai standard deviasi sebesar Nilai 1 Koneksi p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 8 Politik dimiliki oleh Polychem Indonesia Tbk, PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, PT. Alumindo Light Tbk, PT. Arwana Citramulia Tbk, PT. Astra Internasional Tbk, PT. Astra Otoparts Tbk, PT. Charoen Phokphandk Indonesia Tbk, PT. Citra Tubindo Tbk, PT. Delta Djakarta Tbk, PT. Daria Varia LaboratoriaTbk, PT. Ekadharma Internasional Tbk, PT. Eratex Djaja Tbk, PT. Fajar Surya Wisesa Tbk, PT. Gajah Tunggal Tbk, PT. Gajah Tunggal Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk, PT. Indofarma PerseroTbk, PT. Indorama Synthetics Tbk, PT. Indospring Tbk, PT. Toba Pulp Lestari Tbk, PT. Jembo Cable CompanyTbk, PT. Jakarta Kyoel Steel Work Tbk, PT. Kimia Farma PerseroTbk, PT. KMI Wire and Cable Tbk, PT. Krakatau Steel Tbk, PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, PT. Mulia Industrindo Tbk, PT. Pelat Timah NusantaraTbk, PT. Pelangi Indah CanindoTbk, PT. Bentoel Internasional InvestamaTbk, PT. Holcim Indonesia Tbk, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT. Surya Toto Indonesia Tbk, PT. Unggul Indah Cahaya Tbk, PT. Unilever Indonesia Tbk. Nilai Kepemilikan manajerial KPM minimum sebesar 0 dimana kepemilikan saham manajerial tidak ada dan maksimum sebesar 0,70 dimana kepemilikan saham manajerial sebesar 0,70 yaitu terendah pada tahun 2012 dan tertinggi tahun 2016 Nilai kepemilikan manajerial minimum sebesar 0 dan maksimum sebesar 0,70. Sementara nilai rata-rata kepemilikan manajerial sebesar dan nilai standar deviasi sebesar Nilai kepemilikan manajerial tertinggi dimiliki oleh PT. Sat Nusapersada Tbk. Nilai f i r m age minimum sebesar 2 tahun dan maksimum usia perusahaan terlama yaitu 39 tahun . Sementara nilai rata-rata firm age sebesar dan nilai standard deviasi sebesar Nilai firm age tertinggi dimiliki oleh PT. Holcim Indonesia Tbk dan yang terendah dimiliki oleh PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, PT. Indopoly Swakarsa Industry Tbk, PT. Krakatau Steel Persero Tbk, dan PT. Nippon Indosari Corpindo Tbk pada tahun 2012. Tabel 3 Hasil Pengujian Model Penelitian 0,677582 0,939250 12,31346 1,276644 2549046 -0,979190 0,022207 5,489454 Sumber Data Diolah, 2018 Koefisien regresi yang diperoleh dari pengaruh variabel Koneksi Politik terhadap nilai perusahaan adalah sebesar 0,939250 dengan nilai tstatistik 12,31346 > 1,96 pada taraf signifikan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 9 α = 0,05 5% dengan nilai signifikan 0,0000 0,05. yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif dan tidak signifikan struktur kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan. Nilai -0,273058 pada koefisien regresi artinya setiap interaksi kepemilikan manajerial naik maka nilai perusahaan akan turun sebesar -0,273058, dan begitu juga sebaliknya. Dengan demikian hasil empiris ini tidak mendukung hipotesis penelitian yang kedua, dimana tidak terdapat pengaruh positif Kepemilikan Manajerial terhadap nilai perusahaan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis ketiga H2 ditolak. Hal ini mendukung penelitian Pertiwi dan Madi 2012, dan Herawati 2006 yang menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak selalu berdampak positif terhadap nilai perusahaan. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham akan menimbulkan agency conflict, hal tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan berpengaruh terhadap harga saham sehingga menurunkan nilai perusahaan Jensen dan Meckling, 1976. Dari hasil tabel 3 diatas terdapat kontrol variabel yaitu age, yang berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin usia perusahaan meningkat maka nilai perusahaan juga akan meningkat. Begitu pula dengan size perusahaan, semakin besar size perusahaan semakin besar pula nilai perusahaan. Dilihat dari robust test model, dimana variabel kontrol yaitu age dihilangkan, menunjukkan hasil pengujian yang konsisten dengan model penelitian utama, dimana koneksi politik berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Begitu juga dengan hasil konsisten yang didapat antara kepemilikan Manajerial dengan Nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini dikatakan robust atau kokoh. Model penelitian dalam tabel 3 di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut Tobins'Q = 0,677582 + 0,939250 KPit + -0,273058 MANAJit + 0,022207 Ageit Nilai konstanta sebesar 0,677582 dapat diartikan jika tidak ada koneksi politik dan kepemilikan manajerial maka nilai perusahaan adalah sebesar 0,677582. Pada model regresi penelitian, interaksi Koneksi Politik mempunyai nilai koefisien regresi yang paling besar jika dibandingkan dengan koefisien regresi lainnya dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,939250. Artinya Koneksi politik mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap nilai perusahaan. Nilai adjusted R square determinasi sebesar 0,3661009, artinya nilai perusahaan dipengaruhi oleh Koneksi Politik sebesar 36,61% dan sisanya sebesar dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian. Variabel yang memberikan pengaruh terkecil terhadap nilai perusahaan adalah MANAJ yang dengan nilai koefisien regresi -0,273058. Hal ini dikarenakan persentase kepemilikan manajerial yang relatif kecil di perusahaan. Pembahasan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 10 Pada pembuktian hipotesis pertama hasil penelitian menunjukkan bahwa terbukti ada pengaruh positif signifikan antara koneksi politik terhadap nilai perusahaan, hal ini konsisten dengan yang dikemukakan oleh Fan, Wong, dan Zhang 2007 bahwa birokrat atau politisi menggunakan sumber daya dari perusahaan milik negara pimpinanya yang tercatat di bursa untuk memenuhi tujuan yang tidak konsisten dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan. Hillman 2005 lebih lanjut mengatakan bahwa sumber utama dari saling ketergantungan inter dependency bagi suatu bisnis adalah pemerintah. Penelitian yang berhubungan dengan Teori Recource Dependence mununjukkan bahwa board capital legitimasi, anjuran dan saran, hubungan/koneksi dengan organisasi lain, dan lain-lain memiliki hubungan dengan kinerja perusahaan Boyd, 1990; Dalron, Daily, Johnson, dan Ellstrand, 1999. Berdasarkan penelitian sebelumnya, telah dibuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara koneksi politik dan nilai perusahaan pada negara dengan sistem hukum yang lemah maupun yang kuat Faccio, 2006; Faccio dan Parsley, 2007; Fisman, 2001; Goldman etal., 2007; Wati, 2017. Terdapat beberapa alasan yang mungkin dapat menjelaskan mengapa perusahaan dengan koneksi politik mungkin untuk memiliki kinerja yang lebih baik daripada perusahaan lainnya Niessen dan Ruenzi, 2010; pertama delagasi politisi hanya memilih perusahaan dengan kinerja yang paling baik sebagai tempatnya bekerja untuk melindungi reputasinya; kedua, politisi biasanya memiliki sudut pandang orang luar perusahaan yang dapat memberi pandangan independen terhadap perusahaan yang dapat memberi dampak positif terhadap kinerja; ketiga, koneksi politk dapat memberi competitive advantage bagi perusahaan seperti akses yang lebih mudah untuk pendanaan yang berasal dari pinjaman, tarif pajak yang lebih rendah, kontrak dengan perusahaan, atau mengurangi persyaratan regulasi. Koneksi politik memiliki peran yang penting dalam perekonomian dimana hukum dan penegakkan hukum lemah, kualitas dari institusi independen untuk mengawasi pemerintah buruk, dan tingkat korupsi tinggi Polsiri dan Jiraporn, 2012. Dikemukakan oleh Bartels dan Brady 2003 dalam Polsiri dan Jirapron 2012 bahwa dalam lingkungan yang telah dipaparkan sebelumnya, kelompok bisnis yang berpengaruh kemungkinan akan mencoba untuk mendapatkan pengaruh politik dalam rangka untuk mengekploitasi sumber daya ekonomi demi kepentingan mereka sendiri dengan membebankan ke masyarakat. Sebagai alternatif, perusahaan mungkin akan mencoba mempengaruhi politisi melalui penyuapan Shleifer dan Vishny, 1994 dalam Polsiri dan Jiraporn 2012. Pada pengujian hipotesis kedua, kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Pertiwi dan Madi 2012, dan Herawati 2006 yang menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak selalu berdampak positif terhadap nilai perusahaan. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham akan menimbulkan agency conflict, hal tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan berpengaruh terhadap harga saham sehingga menurunkan nilai perusahaan Jensen dan Meckling, 1976. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wati 2016 ditemukan bahwa pada tahun 2014 struktur kepemilikan di Indonesia dikendalikan oleh keluarga sebesar 68,10%. Hal ini menunjukkan rendahnya struktur kepemilikan manajerial karena sebagian besar masih didominasi oleh keluarga. Adanya konsentrasi kepemilikan keluarga mengakibatkan sulitnya manajer dalam menentukan kebijakan karena hak voting dan power yang mayorias dimiliki oleh pemilik dalam penentuan kebijakan sehingga kebijakan yang diambil terkadang bertentangan dengan kepentingan manajer hal ini didukung oleh rata-rata kepemilikan manajerial yang hanya sebesar Dengan rata-rata kepemilikan sebesar itu tentu akan sulit bagi manajer untuk membuat kebijakan atau menentukan tujuan perusahaan jika dihadapkan pada pemilik saham mayoritas. PENUTUP p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 11 Penelitian ini menyimpulkan bahwa koneksi politik berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Semakin tinggi koneksi politik maka semakin tinggi nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan tidak berpengaruh signifikan. Hal ini dikarenakan adanya agency conflict dan juga proporsi saham yang dimiliki oleh dewan direksi maupun komisaris sangat kecil dengan rata-rata hanya 0,03160. Dengan begitu akan sulit bagi manajerial untuk memegang kontrol dan kendali terhadap keputusan strategis perusahaan. Selain itu mayoritas perusahaan di Indonesia yang masih didominasi oleh kepemilikan keluarga, sehingga hal tersebut akan mendorong praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang pada akhirnya akan menjatuhkan nilai perusahaan. Adapun implikasi dari hasil penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi acuan bagi investor dalam menginvestasikan modalnya pada suatu perusahaan. Investor sebaiknya memperhatikan variabel koneksi politik, karena besarnya pengaruh koneksi politik dapat menunjukkan pengaruh terhaadap besarnya nilai perusahaan Perusahaan diharapkan terus meningkatkan nilai perusahaan, namun dengan cara yang positif dan fair yaitu dengan cara meningkatkan prestasi perusahaan, bukan dengan cara peningkatan koneksi politik ataupun lobby-lobby kepentingan politik walaupun berdampak positif terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial yang dilakukan oleh perusahaan diharapkan dilakukan secara berkelanjutan karena dengan rasio kepemilikan saat ini yang begitu kecil tidak mempengaruhi terhadap nilai perusahaan. Pemerintah sudah seharusnya Pemerintah dapat mengendalikan perusahaan-perusahaan dengan mengeluarkan regulasi atau kebijakan-kebijakan pembatasan sampai dengan pelarangan perusahaan melakukan praktik lobbying politik dan memberikan apresiasi bagi perusahaan yang mengedepankan persaingan yang sehat serta fair. Masih terbatasnya literatur yang membahas tentang koneksi politik dan struktuk kepemilikan maka diharapkan semakin banyak penelitian yang di fokuskan kepada hal-hal tersebut. Diharapkan tersedianya ā€œbank dataā€ dikemudian hari untuk dapat menunjang dan membantu peneitian penelitian selajutnya, dikarenakan cukup sulit untuk memperoleh data dalam penelitian keuangan. Meningkatkan sumber referensi yang ada terutama dalam hal yang berkaitan dengan data keuangan dan data profil lengkap struktur perusahaan. REFERENSI Barclay, Michael and Clifford Holderness, 1990, Negotiated block trades and corporate control, Working paper University of Rochester, Rochester, NY. Bliss, M. A., Gul, F. A., & Majid, A. 2011. Do Political Connections Affect The Role of Independent Audit Committees and CEO Duality? Some Evidence from Malaysian Audit of Contemporary Accounting & Economics, 72, 82-98. Bushman, R. M., & Piotroski, J. D. 2006. Financial reporting incentives for conservative accounting The influence of legal and political institutions. Journal of Accounting and Economics, 421-2, 107-148. Cheung, K., Lee, F., & Ip, R. 2003. Enhancing egovernment in developing countries managing knowledge through virtual communities. The Electronic Journal of Information Systems in Developing Countries, 141, 1-20. Chaney, Faccio, M., Parsley, 2008. The quality of accounting information in politically connected firms. Unpublished working paper. Vanderbilt University. Chaney, Faccio, M., and Parsley, D. 2010. The Quality of Accounting Information In Politically Connected Firms. AFA 2010 Atlanta Meetings Paper. Available at http//papers. Diakses 10 May 2015. Fan, Wong, Zhang, T., 2007. Politically connected CEOs, corporate governance and Post-IPO performance of China’s newly partially privatized firms. Journal of Financial Economics 84, 330-357. Fisman, R. 2001. Estimating the value of political connections. American economic review, 914, 1095-1102. p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 12 Haruman, T. 2008. Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Keputusan Keuangan dan Nilai Perusahaan Survey pada Perusahaan Manufaktur di PT. Bursa Efek Indonesia. Herawati, Vinola. 2008. Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating Variabel dari Pengukuran Earnings Management terhadap Nilai Perusahaan. SNA XI, Pontianak Islahudin, R. N. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen Sebagai Variabel Moderating Studi Empiris Pada Perusahann Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi XI. Jensen, M. C., &Meckling, W. H. 1976. Theory of the Firm Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 34, 305-360. La Porta, R., Lopez-De-Silanes, F., and Shleifer, A. 1999. Corporate Ownership Around the World. The Journal of Finance, LIV2, 471- 516. Literature, 251, 121-132. Lev, B. 2003. Corporate Earnings Facts and of Economic Perspectives, 172, 27-50. Pertiwi, T. K., & Pratama, F. M. I. 2012. Pengaruh Kinerja Keuangan Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan Food and Beverage. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 142, 118-127. Purba, J. H. V. 2004. Pengaruh Proporsi Saham Publik terhadap Kinerja Perusahaan. Jurnal Ilmiah Ranggagading, 42, 109-116. Rahmani, N. 2008. Analisis Efisiensi pada BUMN Privatisasi di Indonesia dengan Pendekatan Fungsi Produksi Cobb-DouglasMaster's thesis. Rejeki, Sri. 2007. ā€œAnalisis Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan dan Rasio Perputaran Persediaan Terhadap Pemilihan Metode Persediaan pada Perusahaan Manufaktur Go Public di BEJā€. Skripsi Tidak Dipublikasikan, Fakultas Ekonomi, Universitas Semarang. Sofyaningsih, S., & Hardiningsih, P. 2011. Struktur kepemilikan, kebijakan dividen, kebijakan utang dan nilai perusahaan. Dinamika keuangan dan perbankan, 31. Sujoko, dan Ugy Soebiantoro. 2007. Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham, Leverage, Faktor intern dan Faktor Ekstern terhadap Nilai Perusahaan. Dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 9 1 h. 41-48. Wahyudi, U., & Pawestri, H. P. 2006. Implikasi struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan dengan keputusan keuangan sebagai variabel intervening. Simposium Nasional Akuntansi, 9, 1-25. Wiagustini, N. L. P., & Pertamawati, N. P. 2015. Pengaruh risiko bisnis dan ukuran perusahaan terhadap struktur modal dan nilai perusahaan pada perusahaan farmasi di bursa efek Indonesia. Jurnal Manajemen, 92, 1-1. Networked The Influence of Social Networking Sites on Political Attitudes and Behavior. Social Science Computer Review, 281, 75-92. Jackowicz, Krzysztof & Kozłowski, Łukasz & Mielcarz, Paweł, 2014. "Political connections and operational performance of non-financial firms New evidence from Poland," Emerging Markets Review, Elsevier, vol. 20C, pages 109-135 Wati, L. N., Rachmat Sudarsono, S. E., Si, M., & Erie Febrian, S. E. 2016. Corporate Governance On Conglomerates Pollitically Connected. International Journal of Business, Economics and Law, 101, 23-31. Wati, Rachmat Sudarsono, Si, M. and Erie Febrian, 2016a. Corporate governance on conglomerates politically connected. International Journal of Business, Economics and Law, 101, Wati, L. N. 2017. Board of commissioner’s effectiveness on politically connected conglomerates Evidence from Indonesia. Pertanika Journal Social Sciences & Humanities, 25S, pp. 255-270. ... Phie & Suwandi 2020 berpendapat bahwa setiap perusahaan akan berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan kegiatan bisnisnya untuk meningkatkan nilai perusahaan. Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi nilai perusahaan adalah koneksi politik Maulana & Wati, 2020. Banyak pelaku bisnis menjalin relasi atau koneksi politik dengan pemangku kepentingan, untuk mengamankan dan memudahkan akses bisnis Chaney et al., 2009;Nys et al., 2015;Trinugroho, 2017;dan Hidayati & Diyanty, 2018 Kedekatan antara pelaku bisnis dengan pemerintah merupakan hal wajar yang terjadi di Indonesia mulai dari masa kepemimpinan Presiden Soeharto hingga masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. ...... Koneksi politik juga dapat meningkatkan prospek pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan Du & Girma, 2010. Banyak penelitian di Indonesia yang membuktikan bahwa koneksi politik bermanfaat bagi perusahaan Haryati et al., 2018;Maulana & Wati, 2020;Patriani, 2020. ...... Sehingga dengan adanya koneksi politik dapat meningkatkan nilai perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Do et al 2015; Faccio 2006; Maulana & Wati 2020; Patriani 2020. ...Yeterina Widi NugrahantiIndriyani NurfitriThis study aims to examine the effect of political relations on firm value with corporate governance mechanisms as a moderating variable. This study uses a sample of manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange IDX. Using the purposive sampling method with a sample of 158 companies during the 2018-2020 period. Data were analyzed by panel data regression for hypothesis testing. The results of this study indicate that political connections have a positive effect on firm value. The corporate governance mechanism in the form of managerial ownership and the size of the board of commissioners is proven to be able to moderate the influence of political connections on firm value, but independent boards of commissioners are proven unable to moderate the influence of political connections on firm value. This implies that companies need to optimize their political connections to increase the value of the company. This study also finds that the corporate governance mechanism in the form of managerial ownership and the size of the board of commissioners weakens the positive influence of political relations on firm Research on the effect of political connections on firm value is also documented by Goldman et al., 2009;Wong, 2010;Ang et al., 2013;Do et al., 2015;Wati et al., 2016b;Wati, 2017;Maulana and Wati, 2019 which show that political connections have a positive effect on firm value. In addition to the various benefits obtained by politically connected companies as mentioned above, political connections have a negative impact on the company, namely high leverage followed by overinvestment, lower stock prices, and stock returns, decreased company performance, and low quality of corporate financial statements Chaney et al., 2011;Wu et al., 2012;Wati et al., 2020. ...... Do et al. 2015 who examined the effect of political connections on firm value in the governor election showed that companies with connections to governors could increase firm value to Wong's research results, 2010;Do et al., 2015;Ang et al., 2013;Wati et al., 2016b;Wati, 2017;Maulana and Wati, 2019 show that political connections have a significant positive effect on firm value. Based on the theory supported by previous research, the first research hypothesis is made H1 = Political connection has a positive effect on firm value. ...... The results of this study support the theory of political connections put forward by North 1990 and Olson 1993, where companies with political connections will receive benefits such as contracts or profitable subsidies that have an impact on increasing firm value. The results of this study are also consistent with previous researchers Goldman et al., 2009;Wong, 2010;Do et al., 2012;Ang et al., 2013;Wati et al., 2016b, Wati 2017, and Maulana & Wati 2019 which show that political connections have a significant positive effect on firm value. ...MomonLela Nurlaela WatiSutarIn the face of business competition, a company strategy is needed by seeking and exploiting opportunities in the business environment, one of which is through political connections. Ownership structure plays an essential role in the company to determine the firm performance. The high concentration of family ownership has the power to reduce agency conflicts between management and stakeholders in a company. Concentrated ownership can serve as corporate governance mechanism for better and effective monitoring of management. This study was conducted to determine empirical evidence of the effect of political connections and family ownership structure on firm value. The sample in this study was 390 data of the manufacturing company. The data analysis used is moderating regression analysis. The results of this study are a positive influence of political connections and family ownership structure on firm value. The results showed that the more the company had a strong political connection and was controlled by the family, the more the firm value would increase. The interaction of political connections can strengthen the influence of family ownership on firm value. It proves that the family ownership structure plays a role in determining political connections in Indonesia, especially in manufacturing companies. The existence of empirical evidence that shows that the firm value controlled by a politically connected family is higher than companies that are not connected politically, which implies investors to invest in companies that are politically connected and companies controlled by families with majority ownership because it is proven to increase firm value.... This means that companies that have political connections are considered by investors to have advantages that can be used as a way to increase stock prices. Similar research was conducted by Maulana & Wati 2019, that political connections have an influence on firm value. This shows that companies that have political connections allow them to have better performance than other companies, such as can provide a competitive advantage for companies such as better access, easy funding for loans, dan lower tax rates. ...Mellia Fitriana Imam MuslimThis study aims to determine how the influence of good corporate governance and political connections on firm value. To Answer our reserach question, we use 342 observations from manufacturing companies listed on the Indonesian Stock Exchange and multiple regression method. The results of this study indicate that simultaneously good corporate governance and political connection have a significant effect on firm value with a significance level of 0,05. Partially, good corporate governance as proxied by institutional ownership has no effect on firm value. Independent Commissioner has a significant effect on firm value. The Audit Committee has no effect on the value of the company. Partially, Political Connections has no effect on the value of the company. Partially, firm size has no effect on firm value. And partially ROA has an effect on firm value with a significance level of 0,05.... Meanwhile, research related to the political connection variable has been conducted by Tehupuring & Rossa, 2016 which states that the political connection variable harms tax avoidance. Meanwhile, according to Maulana & Wati, 2020 The political connection variable has a significant positive impact on business value, according to the some of these studies give different results, there are inconsistent research results that have not provided actual results when associated with the Covid-19 pandemic situation and there is still a lack of literature that examines the variables of political connections and thin capitalization on tax avoidance. So this makes the author interested in conducting a research entitled " Political Connections and Thin Capitalization on Tax Avoidance During The Covid-19 Pandemic". ...Melinia IstiqfarositaFadlil AbdaniTaxes are Indonesia's primary source of revenue and play a major role in promoting economic progress. The Covid-19 epidemic is thought to be capable of motivating tax avoidance. Political connections and thin capitalization tend to be associated with tax avoidance practices. The purpose of this study is to measure the effect of political connections and thin capitalization on tax evasion. The sample used is a company registered on IDX 80 in 2020 and obtained as many as 48 companies using the purposive sampling technique as sampling technique. Multiple linear regression analysis was used in this study as an analytical technique using SPSS statistical software. According to the findings of this study, variabel in political connection have a significant impact on tax avoidance, whereas thin capitalization has a negative and insignificant impact. Keywords Tax Avoidance; Political Connection; Thin Capitalization.... Sari & Somoprawiro, 2020. Perusahaan disebut terkoneksi politik apabila minimal salah satu dewan komisaris memiliki jabatan atau pernah menjabat sebagai anggota pemerintah negara yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, ataupun lembaga yang diperlukan dalam tatanan negara Maulana & Wati, 2019. Perusahaan berkoneksi politik dengan cara-cara tertentu, seperti menjalin kedekatan dengan politisi. ...Kurnia ImanuellaTheresia Woro DamayantiPendapatan negara terbesar bersumber dari penerimaan pajak, akan tetapi seringkali penerimaan pajak belum diterima dengan maksimal, salah satunya karena adanya tax avoidance. Ada beberapa alasan perusahaan melakukan tax avoidance, diduga karena adanya koneksi politik dalam perusahaan menjadi salah satu penyebabnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat koneksi politik terhadap tax avoidance. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdapat di BEI tahun 2015-2019. Data sampel yang memenuhi kriteria sejumlah 376 laporan keuangan, diolah menggunakan uji regresi data panel menggunakan eviews. Hasil dari penelitian menjelaskan bahwa tingkat koneksi politik mempengaruhi tax avoidance, dengan kata lain semakin tinggi koneksi politik, maka semakin tinggi pula tingkat tax Sony ErstiwanYosef RichoLatar Belakang Internet pada kondisi Covid-19 saat ini dimanfaatkan oleh penduduk yang ada di Indonesia dan digunakan pada aktivitas dirumah Work From Home. Pandemi mengajak dan mengharuskan kita beralih pada pemanfaatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Tujuan dan manfaat terkait dengan bagaimana aktivitas CSR berdasarkan perspektif prinsip akuntansi. Tanggungjawab sosial yang dilakukan agency kepada masyarakat berawal dari pertanggungjawaban keuangan berdasarkan prinsip transparansi, kewajaran serta kepatuhan dan aturan yang berlaku. Metode Metode yang digunakan menggunakan data sekunder yang berasal dari BEI, yang tertuju pada bidang telekomunikasi khususnya XL-Axiata dan tahun yang mendasari data adalah 2016-2020. Hasil Hasil yang dicapai yaitu pada perolehan pendapatan pada tahun 2018 mencapai hasil yang kurang menguntungkan yang berarti masih perlu upaya lebih peningkatan pendapatan yaitu dengan branding, dengan terus melakukan pengulangan pada produk yang dimiliki. Kesimpulan Kegiatan CSR pada pelaporannya mengikuti pedoman GRI yang disampaikan secara berkelanjutan pada periode berjalan. Saran penelitian yang dilakukan dikemudian hari yaitu memanfaatkan bobot CSR dan implementasi good corporate governance GCG.This study aims to examine the impact of family ownership on the composition of the board of directors and the number of family-affiliated directors. In addition, it analyzes how it affects corporate governance. Big capital and middle capital companies among the top 50 IICD Indonesia Institute for Corporate Directorship awards issuers from 2017 to 2019 make up the study population. The sample consists of 57 middle capital companies and 72 big capital companies. The link between the variables is examined using multiple linear regression. Both the partial coefficient test and the model accuracy test were performed. First, the study findings indicate that family-owned businesses have a higher proportion of family-affiliated board members and commissioners on their boards in big capital and middle capital companies. Second, while family ownership has a favorable impact on middle capital companies, it has a negative and significant impact on the application of corporate governance in big capital firms. Third, since big capital companies exhibit different signals than middle capital companies, it can be inferred that the number of directors and commissioners who are members of the same family affects the adoption of good governance practices and, consequently, the development of sound policies to deal with challenging issues that may arise within a company. This study is innovative in that it divides the sample into big capital and middle capital document that the quality of earnings reported by politically connected firms is significantly poorer than that of similar non-connected companies. Our results are not due to firms with ex-ante poor earnings quality establishing connections more often. Instead, our results suggest that, because of a lesser need to respond to market pressures to increase the quality of information, connected companies can afford disclosing lower quality accounting information. In particular, lower quality reported earnings is associated with a higher cost of debt only for the non-politically connected firms in the Kartika PertiwiFerry Madi Ika PratamaThe purpose of this study was to analyze financial performance as measured by Return on Assets ROA on firm value as measured by Tobin's Q as well as to analyze the Good Corporate Governance as a moderating variable. The research objects were food and beverage firms. The technique analysis was multiple linear regression analysis. The results showed that financial performance was influenced on the value of firms, while the Good Corporate Governance was not a moderating variable of the relationship between the financial performance and the firm study examines whether political connection to firms affects the association between audit committee independence and demand for higher quality audits. In line with Carcello et al. 2002, our findings show that there is a positive association between audit committee independence and audit fees thus supporting the hypothesis that more independent audit committees demand higher audit quality. However, we find that this relationship is weaker for politically connected PCON firms suggesting that the independence of audit committees in Malaysian PCON firms may be compromised. Additionally, we provide evidence that PCON firms that have CEO duality are perceived by audit firms as being of higher risk than CEO duality firms without political article reviews the role of virtual communities as a knowledge management mechanism to support e- government in developing countries. It explores the need for knowledge management in e-government, identifies knowledge management technologies, and highlights the challenges for developing countries in the implementation of e- government and especially knowledge management solutions. It further assesses the feasibility of this and other knowledge management mechanisms in light of the financial and technological limitations of developing countries. The article suggests that knowledge management is needed to facilitate information exchange and transaction processing with citizens, as well as to enable inter-government knowledge sharing and integration. It concludes that simple knowledge management solutions, and especially virtual communities, will be the most appropriate for developing countries, while enterprise solutions are not main objective of the study is to examine the impact of ownership structure%2C leverage%2C external factor%2C internal factor on the value of the firms in Jakarta Stock Exchange. It is argued that unlike the agency problem advanced stock market%2C the agency problem in the Jakarta Stock Exchange is the divergence of interest between the minority holders and majority holders. This is because the Jakarta Stock Exchange is characterized%2C among other things%2C by the domination of large shareholders. It is hypotheses that 1 there are the impact ownership structure %2C external factor%2C internal factor%2C on leverage%2C 2 there are the impact of ownership structure %2C external factor%2C internal factor%2C leverage on value of the firm . This study is to examine Agency Theory%2C Jensen and Meckling 1976%2C Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade Off Model and Signaling Theory 1979. Population in this study are public company listed in Jakarta Stock Exchange during 2000 Ā– 2004. As much as 134 firms listed in Jakarta Stock Exchange were taken as a sample using a purposive sampling data were then analyzed by the structural equation modeling SEM analysis%2C using the AMOS Program version results of this study show that 1 there are the impact of ownership structure %2C external factor%2C internal factor on leverage%2C2there are the impact of ownership structure%2C external factor%2C internal factor%2C leverage%2C on valueof the firm . The result of the study is not support the Agency Theory%2C Jensen and Meckling 1976%2C but the result of the study is support Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade off model and Signaling Theory%2C Battacharya 1979. Abstract in Bahasa Indonesia Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menguji pengaruh struktur kepemilikan%2C leverage%2C faktor ekstern%2C dan faktor intern terhadap nilai perusahaan di Bursa Efek Jakarta. Tidak seperti pada permasalahan keagenan di pasar modal yang sudah maju%2C problem keagenan di Bursa Efek Jakarta adalah terjadinya perbedaan kepentingan antara pemilik minoritas dengan pemilik mayoritas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1 struktur kepemilikan%2C faktor ekstern%2C dan faktor intern berpengaruh signifikan terhadap leverage%2C 2 struktur kepemilikan%2C faktor ekstern%2C faktor intern dan leverage berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Studi ini ingin menguji teori keagenan%2C Jensen dan Meckling 1976%2C Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade off model dan Signaling Theory%2C Bhattacharya 1979. Populasi dalam studi ini adalah perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sebanyak 134 perusahaan diambil sebagai sample dengan enggunakan purposive sampling. Data dianalisis dengan mengunakan Structural Equation Modelling. Hasil studi ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan%2C faktor intern dan faktor ekstern berpengaruh signifikan terhadap leverage. Struktur kepemilikan%2C faktor ekstern%2C faktor intern%2Cdan leverage berpengaruh signifikan terhadap nilai studi ini tidak mendukung teori keagenan%2C Jensen dan Meckling 1976 tetapi hasil studi ini mendukung Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade off model dan Signaling theory%2C Bhattacarya 1979. TobinsĀ’Q%2C leverage%2C ownership present data on ownership structures of large corporations in 27 wealthy economies, making an effort to identify ultimate controlling shareholders of these firms. We find that, except in economies with very good shareholder protection, relatively few of these firms are widely-held, in contrast to the Berle and Means image of ownership of the modern corporation. Rather, these firms are typically controlled by families or the State. Equity control by financial institutions or other widely-held corporations is less common. Baruch LevManipulated earnings played a central role in the slew of corporate scandals which surfaced during the last three years. This article focuses on the vulnerability of earnings to manipulation by managers it surveys the empirical record of manipulation, their major objectives, and the means of manipulation. It then focuses on the major source of earnings manipulation-the multitude of estimates and subjective judgments underlying the comutation of earnings. The article accordingly concludes with a proposal to curb manipulation by requiring managers to routinely compare key estimates with ex post realizations, and revise earnings in case of large multinational companies pay enormous money for making and auditing their accounting reports according to the different national regulations. For these multinational companies the aspects of maximizing the profit is significantly more important than the aspects of national interest or the geographical position. Because of this there is a demand for creating such accounting systems which are evaluating the holder’s economic results equally. Meanwhile the interpretation and adaptation of the financial information based on the different accounting methods are also expensive for the users of these reports. Therefore an authentic and standardized international account reporting system could form that business language, which would allow the comparison of the accounting information of each country. According to the business practice it is obvious that the usage of international accounting principles leads to a reduction of the information asymmetry between the owners and the managers. Previous international accounting references shown that because of this information asymmetry payment of the managers decreased, while the cost of equities rose and the economical and financial forecasts are less J. BarclayClifford G. HoldernessThe authors identify negotiated trades of large-percentage blocks of stock as corporate control transactions. When a block trades and the firm is not fully acquired, cumulative abnormal returns average percent and 33 percent of the chief executives are replaced within a year. Stock-price increases are larger when control passes to the new blockholder, when management does not resist the blockholder's effort to influence corporate policy, and when the block purchaser eventually fully acquires the firm. These findings suggest that the specific skills and expertise of blockholders, and not just the concentration of ownership, are important determinants of firm value. Copyright 1991 by American Finance Association.
Sistemkepartaian adalah pola interaksi antara setiap partai politik yang terdapat dalam suatu sistem politik tertentu. Suatu system kepartaian yang berlaku dalam sebuah negara tergantung pada system pemerintahan yang dianut oleh sebuah negara, selain itu kemajemukan yang terdapat dalam negara juga dapat mempengaruhi system kepartaian yang dianut. èMacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan dan sekaligus ð Politik sebagai proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk menentukan kebaikan bersama bagi Sistem-sistem tradisional dengan struktur-struktur bersifat pemerintahan politik yang berbeda-beda dan suatu kebudayaan BentukSistem Politik Indonesia sesuai UUD 1945. 1. Pengertian Sistem. Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi. 2. Pengertian Politik. Politik berasal dari bahasa yunani yaitu "polis" yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam negara/kehidupan negara.
Politikdalam bahasa arabnya disebut "siyasyah" yang kemudian diterjemahkan menjadi siasat, atau dalam bahasa inggrisnya "politics" . asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata "polis" yang berarti negara kota, dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan dan pada akhirnya kekuasaan.
71uO1.
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/820
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/610
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/974
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/218
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/96
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/86
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/933
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/396
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/100
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/620
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/219
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/5
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/997
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/885
  • xlx9fvwsy3.pages.dev/306
  • interaksi antara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat